
DPR dan Pemerintah Prioritaskan Omnibus Law Perpajakan di 2020

Ketua DPR Puan Maharani (tengah), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kiri) dan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad (kanan)/dpr.go.id
Pemerintah dan DPR akan memprioritaskan Omnibus Law Perpajakan yang mulai dibahas pada Januari 2020. Rancangan undang undang (RUU) ini menjadi prioritas untuk mengantisipasi ketidakpastian perekonomian global.
Seperti dilaporkan dpr.go.id, untuk merealisasikan pembahasan RUU ini, Ketua DPR Puan Maharani menggelar rapat konsultasi dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beserta segenap pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD). Puan mengatakan, pembahasan RUU akan segera dilakukan apabila surat presiden telah sampai ke DPR.
“Jadi memang harapan dari pemerintah untuk bisa memberikan supres itu pada bulan Desember ini. Namun, saya juga sudah menyampaikan bahwa besok itu sudah penutupan masa sidang. Artinya, kemungkinan supres itu akan diberikan pada Januari sesudah pembukaan masa sidang,” kata Puan.
Dalam pertemuan itu, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad ikut menimpali, kendati RUU ini selesai pada 2020, tapi dampaknya baru akan terasa di 2021 atau 2022. “Tapi, segala sesuatunya harus kita siapkan,” kata Sufmi Dasco.
Sementara itu, Sri Mulyani menyampaikan, pihaknya telah berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan HAM soal program legislasi nasional. Omnibus Law Perpajakan disebut menjadi superprioritas karena menjadi perintah dari presiden.
Omnibus Law Perpajakan, kata Sri Mulyani, terdiri atas 28 Pasal sekaligus mengamandemen 7 UU yaitu UU Pajak Penghasilan (PPH), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU Kepabeanan, UU Cukai, UU Pajak dan Retribusi Daerah, serta UU Pemerintah Daerah.
Dari 28 Pasal diharapkan akan terdiri atas 6 kluster isu yang dibahas. Pertama, peningkatan investasi dengan menurunkan tarif pajak PPH badan dan PPH untuk bunga. Kedua, soal sistem teritorial, yaitu bagaimana penghasilan dari deviden luar negeri akan dibebaskan pajak asal berinvestasi di Indonesia.
“Selain itu, warga negara asing (WNA) yang merupakan subjek pajak dalam negeri dikenai kewajiban pajak untuk pendapatannya di dalam negeri,” kata Sri Mulyani.
Ketiga, soal subjek pajak orang pribadi. Ini membedakan WNA dan WNI. Menurut Sri Mulyani, untuk orang WNI yang tinggal di luar negeri lebih dari 183 hari mereka bisa berubah menjadi subjek pajak luar negeri, jadi tidak membayar pajak di Indonesia.
Sementara, untuk orang asing yang tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari, mereka akan menjadi subjek pajak di dalam negeri dan membayar pajak di Indonesia dari penghasilannya yang berasal dari Indonesia, kata Sri Mulyani. Keempat, soal meningkatkan kepatuhan perpajakan dengan mengatur ulang sanksi dan imbalan bunganya.
Sanksi perpajakan selama ini, kata Sri Mulyani, termasuk tinggi mencapai 2% hingga dengan 24 bulan sehingga menyebabkan suku bunga bisa mencapai 48%. Dengan menggunakan suku bunga yang berlaku di pasar ditambah sedikit administrasinya, maka wajib pajak merasa mudah untuk lebih patuh kepada UU. Kelima, soal ekonomi digital terutama pemajakan transaksi elektronik yang dibuat sama dengan pajak biasa.
Termasuk penunjukan platform digital untuk memungut PPN badan usaha yang tidak tetap di Indonesia. Semisal, Netflix, Amazon dan lain sebagainya. Mereka akan menjadi subjek pajak luar negeri yang tidak berada di Indonesia. “Terakhir soal insentif pajak yang di antaranya tax holiday, super deduction, tax allowance, Kawasan Ekonomi Khusus dan PPH untuk surat berharga,” kata Sri Mulyani.
Leave a reply
