
Bos BCA Masih Tunggu Arahan Bank Indonesia Soal Bawa Pulang Devisa Hasil Ekspor

Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk, Jahja Setiaatmadja
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk, Jahja Setiaatmadja masih menunggu arahan lebih detil dari Bank Indonesia soal kebijakan membawa pulang devisa hasil ekspor dan menahannya di dalam negeri untuk jangka waktu tertentu. Bos BCA ini memahami kebijakan tersebut dilatarbelakangi fakta bahwa masih banyak devisa hasil ekspor yang mengendap di luar negeri.
Jahja mengungkapkan berdasakan riset dari Bank Indonesia, yang dilakukan Mei 2022 lalu, devisa hasil ekspor yang dibawa pulang ke Tanah Air hanya 60%. Dari 60% itu, baru sekitar 30% yang dikonversi ke Rupiah. Riset ini dilakukan terhadap 40 perusahaan eksportir besar di Indonesia.
Pemerintah dan Bank Indonesia pun sedang menggodok aturan untuk membawa pulang devisa hasil eskpor ke dalam negeri, dengan memberikan sejumlah insentif.
“Mungkin berlatarbelakang seperti ini, ada ketentuan ini. Tetapi untuk sikap kita atau sikap nasabah, tentu kita akan menuggu juklak yang jelas dari Bank Indonesia, apakah dana ini lalu ditempatkan di Bank Indonesia atau di perbankan,” ujar Jahja, Kamis (26/1).
Jahja mengatakan seperti kebanyakan aturan lainnya, ketentuan untuk membawa pulang devisa hasil eskpor pun kemungkinan akan mendapatkan pro dan kontra. “Itu selalu, setiap ketentuan ada pro dan kontranya. Itu biasa. Tetapi kami tidak bisa menjelaskan secara detil dulu, karena ini baru saja ditetapkan beberapa hari lalu, dan kita menunggu petunjuk pelaksanaannya,” ujarnya.
Tahun 2022 lalu, nilai ekspor Indonesia mencapai US$291 miliar, dengan surplus neraca perdagangan hampir mencapai US$55 miliar. Harusnya dengan tingginya ekspor ini, pasokan valuta asing (valas) di dalam negeri, terutama Dollar Amerika Serikat, pun berlimpah, sehingga nilai tukar Rupiah lebih tangguh. Tetapi, sebaliknya yang terjadi pada tahun 2022 lalu, Rupiah babak belur ketika Dollar AS menguat akibat naiknya suku bunga di Amerika Serikat.
Presiden Joko Widodo pun dalam arahannya pada Rapat Terbatas (Ratas) di Kantor Presiden, Rabu (11/1) meminta agar pertumbuhan ekspor Indonesia yang selama ini positif disertai neraca perdagangan surplus, perlu diikuti dengan peningkatan cadangan devisa di dalam negeri.
Karena itu, Presiden memerintahkan agar Peraturan Pemerintah No.1 tahun 2019 tentang devisa hasil ekspor direvisi. “Saat ini, hanya sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan dan perikanan yang diwajibkan masuk ke dalam negeri. Nah, ini kita masukan juga beberapa sektor termasuk sektor manufaktur,” ujar Menteri Koordiantor Perekonomian, Airlangga Hartarto dalam konferensi pers usai Ratas, Rabu (11/1).
Bank Indonesia juga sejak Desember 2022 lalu berupaya menarik devisa hasil ekspor ini ke dalam negeri dengan menerbitkan instrumen operasi moneter valas yang baru dalam bentuk term doposit valas.
Destry Damayanti, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia mengatakan sejak awal Desember 2022 Bank Indonesia terus berkoordinasi dengan pemerintah soal pasokan Dollar di dalam negeri yang kurang di saat nilai ekspor tinggi ini. Sebagai institusi yang menjaga stabilitas Rupiah, ada concern dari Bank Indonesia untuk menjaga pasokan valas.
Leave a reply
