BI Rate Diproyeksikan Naik Hingga 100 bps, Apa Strategi Bank Mandiri?

0
568

Bank Mandiri memproyeksikan Bank Indonesia bakal terus menaikkan suku bunga acuan pada tahun ini, menyusul kenaikan 25 basis poin (bps) pada Rapat Dewan Gubenur (RDG) Agustus lalu.

“BI rate memang kita proyeksikan masih akan naik antara 50 sampai 100 basis poin dan sudah 25 basis poin di bulan Agustus yang lalu,” ujar Direktur Keuangan dan Strategi Bank Mandiri Sigit Prastowo dalam konferensi pers pada Public Expose Live, Kamis (15/9).

Namun, Sigit mengatakan meski berdampak pada biaya dana (cost of fund), tetapi kenaikan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) ini tidak serta-merta diikuti kenaikan lending rate atau suku bunga pinjaman oleh Bank Mandiri.

“Tentu ada banyak faktor yang harus kita pertimbangakan untuk kita melakukan adjustment (lending rate),” ujarnya.

Salah satu faktor yang menjadi pertimbangan adalah kondisi likuiditas. Menurutnya, apabila kondisi likuiditas empel dan CASA ratio bisa dipertahankan pada level 75%, maka tekanan untuk menaikkan suku bunga pinjaman tidak terlalu kuat. Karena itu, staregi yang dilakukan Bank Mandiri, jelas Sigit adalah memperkuat CASA ratio sehingga biaya dana (cost of fund) tetap berada di level yang rendah sehingga tetap dapat menjaga net interest margin (NIM) pada level yang sehat.

Baca Juga :   Kerjasama dengan Bank Mandiri, Wise Platform Terintegrasi dengan Livin’ by Mandiri

Untuk meningkatkan CASA ratio atau dana murah, Bank mandiri mengoptimalkan aplikasi Livin’ dan Kopra. Sigit mengatakan kedua aplikasi tersebut telah terbukti ampuh mendongkrak CASA ratio Bank Mandiri dari sekitar 65% tahun lalu menjadi sekitar 75% pada Juli 2022.

Sigit mengakui kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia memang pasti akan berdampak pada peningkatan biaya dana (cost of fund), namun menurutnya kenaikannya relatif terbatas. Saat ini, cost of fund Bank Mandiri berada di kisaran 1,2% hingga 1,3%.

“Ke depan ada kenaikan (cost of fund) kurang lebih 10 basis poin, ini angka yang minimal dengan perkembagan kenaikan BI rate yang cukup signifikan. Karena itu, NIM kita yang 5,4% dapat kita jaga sampai pada akhir tahun pada level yang kurang lebih sama atau malah sedikit meningkat dari apa yang kita capai di semester pertama,” ujarnya.

Selain faktor likuiditas, faktor lain yang menjadi pertimbangan Bank Mandiri terkait kebijakan suku bunga pinjaman adalah adalah kondisi usaha debitur. Sigit mengatakan kenaikan suku bunga pinjaman tentu akan mempengaruhi kemampuan nasabah untuk melakukan pembayaran dan pada akhirnya juga akan mempengaruhi kualitas aset atau kredit.

Baca Juga :   Gantikan Andrinof A. Chaniago, Zainudin Amali Kini Ditunjuk Jadi Wakil Komisaris Utama Bank Mandiri

“Dalam hal ini, yang harus kita pertimbangkan adalah jangan sampai kita melakukan kenaikan [lending rate], tetapi berdampak pada kualitas. Oleh karenanya kita juga sangat hati-hati untuk melakukan kenaikan di sisi lending rate,” ujarnya.

Faktor ketiga yang menjadi pertimbangan adalah kompetisi di pasar.”Kalau bank-bank lain juga memberikan penawaran bunga yang tidak mengalami kenaikan tentu kita juga tidak serta merta melakukan adjustment di situ,” ujarnya.

Tantangan tahun depan

Sejumlah tantangan bakal dihadapi oleh industri perbankan pada tahun depan. Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri Ahmad Siddik Badruddin mengatakan tahun depan adalah tahun normalisasi kebijakan. Menurutnya, kemungkinan OJK tidak melanjutkan kebijakan restrukturisasi kredit yang sudah dimulai sejak Maret 2020, sehingga bank-bank harus menyesuaikan kolektabilitas kredit.

“Sehingga kemungkinan besar menurut hemat kami pertumbuhan kredit di industri perbankan akan sedikit lebih rendah dibandingkan tahun 2022 di tahun depan,” ujar Ahmad.

Menurut Ahmad yang harus diwaspadai dari normalisasi kebijakan ini adalah perkembangan Non Performing Loan (NPL) dan kecukupan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) dari industri perbankan.

Baca Juga :   Proyeksi Bank Mandiri, Pertumbuhan Ekonomi Triwulan II 2023 Lebih Kuat dari Triwulan I

“Untuk Bank Mandiri, kami sudah menganut rezim konservatif di mana untuk kredit-kredit yang direstrukturisasi karena Covid, kita sudah menyisihkan additional credit provision, CKPN secara bertahap dari 2020 sampai sekarang sehingga apabila kebijakan POJK tersebut tidak diperpanjang tahun depan, kami sudah siap dengan semua CKPN yang diperlukan dan juga kita sudah melakukan account downgrade untuk account yang tidak bisa survive lagi,” ujar Ahmad.

Terkait kebijakan restrukturisasi kredit ini, sebelumnya OJK mengatakan kebijakan tersebut akan diperpanjang, tetapi tidak berlaku untuk semua debitur.

Selain terkait normalisasi kebijakan, Ahmad mengatakan tantangan lainnya pada tahun depan adalah kondisi makro yang berubah, baik karena keputusan bank sentral AS, The Fed, maupun bank sentralnya lainnya, serta respons Bank Indonesia sendiri atas kebijakan-kebijakan tersebut.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics