Beban Utang Menggunung, Garuda Indonesia Terancam Crash

1
505

Seperti sebuah pesawat yang sedang terbang, PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk sedang mengalami turbulensi hebat karena beban hutang yang menggunung. Ia pun terancam mengalami crash bila upaya penyelamtan tidak berhasil dilakukan.

Sudah banyak desas-desus soal kondisi keuangan perusahaan penerbangan milik pemerintah tersebut selama ini. Tetapi, rekaman audio berdurasi sekitar 17 menit yang beredar luas pada jelang akhir Mei lalu, membuat semuanya menjadi terang benderang.

Sayangnya, meski sudah beredar luas dan diakui sebagai “rekaman diskusi internal” dengan karyawan, tetapi manajemen Garuda Indonesia menyatakan informasi dalam rekaman tersebut hanya untuk kalangan internal dan “tidak untuk disebarluaskan”.

“Perseroan tengah melakukan penelurusan atas peristiwa tersebarnya rekaman rapat internal dimaksud,” tulis manajemen Garuda Indonesia dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), 27 Mei lalu.

Manajemen Garuda Indonesia sebenarnya sudah menjelaskan soal tawaran program pensiun dipercepat kepada karyawan, melalui siaran pers pada Jumat (19/5). Tetapi dalam siaran pers itu, manajemen tidak menjelaskan dengan terang benderang soal kondisi keuangan perusahaan, yang melatarbelakangi program pensiun dini tersebut.

Baca Juga :   Jaksa Agung: Dugaan Korupsi di Garuda dan Slot Orbit 123 Kemenhan Sudah Naik Penyidikan

Belakangan pada awal Rabu (2/6), Peter Frans Gontha, salah satu komisaris Garuda Indonesia, mengajukan surat permohonan kepada Dewan Komisaris untuk tidak menerima honorarium bulanan terhitung mulai Mei 2021. Seperti tertulis dalam suratnya yang dia unggah di akun facebook-nya, hal itu bertujuan untuk ‘sedikit meringankan’ beban perusahaan.

Dalam surat yang tembusannya juga ditujukan ke Direktur Keuangan Garuda Indonesia, Peter F. Gontha menyebutkan sejumlah penyebab kritisnya keuangan Garuda Indonesia. Pertama, tidak adanya pengehematan biaya operasional antara lain GHA. Kedua, tidak adanya informasi mengenai cara dan narasi negosiasi dengan lessor. Ketiga, tidak adanya evaluasi/perubahan penerbangan/route yang merugi. Keempat, cash flow manajemen yang tidak dapat dimengerti. Kelima, keputusan yang diambil Kementerian BUMN secara sepihak tanpa koordinasi dan tanpa melibatkan Dewan Komisaris. Keenam, saran komisaris yang tidak diperlukan. Ketujuh, aktivitas komisaris yang hanya 5-6 jam per minggu.

Halaman Berikutnya
1 2 3 4 5

1 comment

Leave a reply

Iconomics