
Bank Sentral Amerika Serikat Agresif Naikkan Suku Bunga, Bank Indonesia Belum, Mengapa?

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 23 dan 24 Mei 2022, kembali mempertahankan suku bunga acuan. BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) tetap pada level 3,50%. Demikian juga suku bunga Deposit Facility dan Lending Facility, masing-masing tetap 2,75% dan 4,25%.
Suku bunga kebijakan Bank Indonesia ini sudah berada pada level tersebut sejak 18 Ferbruari 2021 dan merupakan level terendahnya.
“Keputusan ini sejalan dengan perlunya pengendalian inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar, serta tetap mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah tingginya tekanan eksternal terkait dengan keteganan geopolitik Rusia-Ukraina, serta percepatan normalisasi kebijakan moneter di berbagai negara maju dan berkembang,” ujar Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Selasa (24/5).
Langkah Bank Indonesia mempertahankan suku bunga kebijakan ini dilakukan di tengah tren kenaikan suku bunga di sejumlah negara, termasuk bank sentral Amerika Serikat yang tahun ini diperkirakan agresif menaikkan Fed Fund Rate (FRR). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu menyampaikan hingga akhir tahun ini tingkat FRR diperkirakan akan mencapai sekitar 3% dan diperkirakan akan terus naik hingga bisa menjinakkan inflasi di Amerika Serikat yang sudah mencapai level 8,4%.
Namun, Perry mengatakan kebijakan moneter di Indonesia tidak hanya bertumpu pada kebijakan suku bunga. Tetapi, juga pada instrumen kebijakan likuiditas dan stabilitas nilai tukar. Ketimbang menaikkan suku bunga, Bank Indonesia memilih mempercepat normalisasi kebijakan likuiditas sembari menjaga nilai tukar Rupiah.
Terkait likuiditas, Perry mengatakan Bank Indonesia mempercepat normalisasi kebijakan likuiditas melalui kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah secara bertahap. Kewajiban minimum GWM Rupiah untuk BUK (Bank Umum Konvensional) yang pada saat ini sebesar 5,0% naik menjadi 6,0% mulai 1 Juni 2022; 7,5% mulai 1 Juli 2022 dan 9,0% mulai 1 September 2022.
Kemudian, kewajiban minimum GWM Rupiah untuk BUS (Bank Umum Syariah) dan UUS (Unit Usaha Syariah) yang pada saat ini sebesar 4,0%, naik menjadi 4,5% mulai 1 Juni 2022; 6,0% mulai 1 Juli 2022, dan 7,5% mulai 1 September 2022.
Bank Indonesia juga memberikan remunerasi sebesar 1,5% terhadap pemenuhan kewajiban GWM setelah memperhitungkan insentif bagi bank-bank dalam penyaluran kredit/pembiayaan kepada sektor prioritas dan UMKM dan/atau memenuhi target RPIM.
Menurut Perry, kenaikan GWM ini tidak akan mempengaruhi kemampuan perbankan dalam penyaluran kredit/pembiayaan kepada dunia usaha dan partisipasi dalam pembelian SBN untuk pembiayaan APBN.
Bank Indonesia juga terus memperkuat kebijakan nilai tukar Rupiah untuk menjaga stabilitas nilai tukar yang sejalan dengan mekanisme pasar dan fundamental ekonomi. Nilai tukar Rupiah sampai dengan 23 Mei 2022 terdepresiasi sekitar 2,87% dibandingkan dengan level akhir 2021, relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya, seperti India 4,11%, Malaysia 5,10%, dan Korea Selatan 5,97%. Kedepan, stabilitas nilai tukar Rupiah diperkirakan tetap terjaga didukung oleh kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang tetap baik, terutama oleh lebih rendahnya defisit transaksi berjalan dan supply valas dari korporasi yang terus berlanjut.
Menurut Perry, kebijakan bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed), yang menaikkan suku bunga berpengaruh ke US Treasury. US Treasury ini berpengaruh kepada perekonomian Indoneisa melalui yield SBN.
“Pengaruhnya tidak one to one, tergantung bagaimana pola pembiayaan fiskal pemerintah. Kemudian yang kedua tentu saja adalah kenaikan US Treasury dan juga preferensi investor dalam negeri yang tentu saja bisa menerima yield lebih rendah dibandingkan investor asing, karena itu masih menguntungkan dan komitmen Bank Indonesia dalam pembelian SBN,” jelasnya.
Oleh karena itu, tambah Perry, kebijakan suku bunga Bank Indonesia tetap dapat diarahkan untuk pengendalian inflasi dalam negeri dan mendorong pertumbuhan ekonomi kedepan. “Oleh karena itu, normalisasi kebijakan moneter Bank Indonesia dilakukan terlebih dahulu melalui normalisasi likuiditas dengan kenaikan GWM tanpa mengurangi kemapuan perbankan dalam menyalurkan kredit/pembiayaan kepada sektor riil karena likuiditas sangat berlebih,” ujarnya.
Dengan koordinasi antara Bank Indonesia, pemerintah pusat, pemerintah daerah, Perry mengatakan diharapkan tingkat inflasi di Indonesia dapat terkendali. Koordinasi ini mengurangi keharusan untuk merespons kenaikan inflasi melalui suku bunga seperti yang dilakukan bank-bank sentral lain di dunia.
Indeks Harga Konsumen (IHK) pada April 2022 tercatat inflasi sebesar 0,95% (mtm). Secara tahunan, inflasi IHK April 2022 tercatat 3,47% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi bulan sebelumnya yang sebesar 2,64% (yoy), seiring dengan peningkatan harga komoditas global, mobilitas masyarakat, dan pola musiman Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN).
Leave a reply
