YLKI: Aduan Konsumen soal Pinjol Meningkat Dalam 3 Tahun Terakhir

0
795

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebut ada kenaikan pengaduan terkait dengan ekonomi digital dan salah satunya pinjaman online (pinjol) dalam 3 tahun terakhir. Berkaitan dengan hal tersebut aktivitas yang dilakukan YLKI salah satu tantangannya adalah mengedukasi konsumen.

Anggota pengurus harian YLKI Sudaryatmo mengatakan, pihaknya menerima aduan terkait pinjol berada dalam posisi kedua terbesar yakni sekitar 15% dari 100 aduan yang masuk ke YLKI. Pengaduan yang tertinggi itu terkait dengan belanja daring. Dari pengaduan pinjol itu tidak melulu yang ilegal tetapi ada juga yang legal.

“Untuk porsinya pengaduan terkait dengan pinjol ilegal itu mencapai sekitar 68% dan yang legal itu sekitar 31%,” tutur Sudaryatmo dalam sebuah diskusi virtual yang digelar The Iconomics, Jumat (30/7).

Komoditas yang banyak diadukan di masa pandemi, kata Sudaryatmo, pinjol itu dimasukkan dalam kluster jasa keuangan. Tanpa mengurangi kerja keras yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), data yang dihimpun YLKI jasa keuangan menjadi komoditas yang paling dominan diadukan konsumen yang mencapai 30%.

Baca Juga :   Sedang Lakukan Penyehatan Keuangan, Wanaartha Life Tak Berikan Manfaat Nilai Tunai Kepada Pemegang Polis

Tingginya aduan konsumen terkait dengan jasa keuangan itu, kata Sudaryatmo, perlu mendapat perhatian dari semua pihak. Dibandingkan dengan data-data di negara lain terkait dengan aduan jasa keuangan, persentasenya itu tidak sebesar di Indonesia.

“Data yang ada di YLKI, di Hong Kong, misalnya, dari 30 ribu aduan konsumen, terkait dengan jasa keuangan itu hanya 1,5%-2%. Karena persoalannya sedikit beda, maka aduan jasa keuangan di Hongkong itu relatif kecil,” kata Sudaryatmo.

Persoalan pinjol di Indonesia, kata Sudaryatmo, memang paling dominan tentang tata cara penagihan, lalu ada jadwal, identitas, data pribadi, pengalihan data, tidak meminjam tetapi ditransfer, pelunasan dan lain sebagainya. Karena itu, terkait dengan pinjol ini, yang penting adalah transparansi produk pinjaman sebelum konsumen melakukan transaksi.

“Di samping suku bunga, keluhan konsumen itu juga terkait dengan unfair charging, ini bisa dari jenis charging-nya atau besaran charging-nya. Rata-rata konsumen baru tahu ketika sudah bertransaksi tentang macam-macam dan besaran tagihannya. Itu yang dikeluhkan konsumen,” kata Sudaryatmo.

Baca Juga :   Naik 8,99% Hingga Oktober, OJK Masih Optimistis Penyaluran Kredit Tahun Ini Tumbuh Dobel Digit

 

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics