
SPI: Harga TBS Darurat, Pemerintah Harus Keluarkan Kebijakan Responsif dan Solutif

Ketua Umum SPI Henry Saragih/Dokumentasi SPI
Serikat Petani Indonesia (SPI) menyebut harga tandan buah segar (TBS) sawit semakin menurun setelah sebulan pencabutan larangan ekspor crude palm oil (CPO). Kenyataan itu tampak di Pasaman Barat, Sumatera Barat harga TBS hanya Rp 600 per kilogram (kg) dan Tanjung Jabung Timur, Jambi, harga TBS hanya Rp 500 per kg terlebih aksesnya jauh dari jalan.
“Laporan hari ini ada yang sampai Rp 300 per kg. Ini sudah sangat luar biasa, sawit yang jadi komoditas ekspor seperti tidak ada harganya sama sekali,” kata Ketua Umum SPI Henry Saragih dalam keterangan resminya beberapa waktu lalu.
Berdasarkan hal tersebut, kata Henry, pemerintah perlu segera mengeluarkan kebijakan responsif dan solutif untuk mengatasi penurunan harga TBS itu. Turunnya harga TBS itu dinilai karena sistem pasar internasional sawit dikuasai korporasi-korporasi global.
“Ini sudah darurat. Petani sawit sudah menjerit, sudah pada titik nadir, harga TBS jauh di bawah harga impasnya, ini artinya petani sudah sangat merugi, keterlaluan. Hajat hidup petani, orang banyak, dikuasai oleh cukong-cukong transnasional perseorangan yang pemerintah kita pun hampir tidak berdaya melawannya,” kata Henry.
Menurut Henry, pemerintah juga perlu menindak perusahaan sawit yang membeli TBS di bawah harga yang sudah ditentukan. Pabrik kelapa sawit (PKS) yang tidak patuh terhadap pemerintah, misalnya, izin ekspornya dicabut, dan bahkan ditutup jika memungkinkan.
Dengan demikian, kata Henry, dana yang ada di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dapat dialokasikan untuk membenahi persoalan harga TBS. Jadi, tidak hanya memanjakan korporasi, sebagaimana yang terjadi saat ini.
“Bangun pabrik-pabrik mini kelapa sawit di tingkat lokal, juga pabrik minyak goreng dan minyak makan merah pengelolaannya berikan kepada petani melalui koperasi, kalau memang serius ini bisa segera dikerjakan pemerintah,” kata Henry.
Di samping itu, kata Henry, pemerintah daerah perlu membuka pelayanan posko aduan untuk menampung setiap laporan dari para petani karena harga sawit mereka dibeli dengan harga di bawah ketentuan. Lewat reforma agraria akan menjadi momentum pemerintah menaikkan harga TBS dan merombak tata kelola persawitan.
Perkebunan sawit, kata Henry, harus diurus rakyat dan sepenuhnya didukung pemerintah dan badan usaha milik negara (BUMN), bukan korporasi swasta. Negara harus berperan dalam transisi ini dengan melaksanakan reforma agraria, tanah perkebunan atau pribadi yang luasnya di atas 25 hektare dijadikan sebagai tanah objek reforma agraria (TORA).
“Atas nama negara jugalah melalui BUMN yang mengurus turunan strategis produksi sawit. Korporasi swasta bisa diikutkan di urusan pengolahan industri lanjutan, misalnya untuk pabrik sabun, kosmetik, obatan-obatan, dan usaha-usaha industri turunan lainnya,” katanya.
Leave a reply
