RUU EBT Dinilai Jadikan Indonesia Pasar Impor dan Bertentangan dengan UUD

0
487

Guru besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Prof. Mukhtasor menilai pasal-pasal Rancangan Undang Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) berpotensi bertentangan dengan UUD 1945. Karena itu, kemampuan nasional tidak akan terfasilitasi dengan baik sehingga ada peluang yang hilang terhadap orang-orang yang ingin mengembangkan EBT.

Mukhtasor mengatakan, prinsip-prinsip yang baik di dalam tata kelola mengembangkan energi nasional adalah menempatkan energi sebagai modal pembangunan dengan beberapa ukuran. Pertama, menyerap tenaga kerja; kedua, meningkatkan nilai tambah dalam negeri yang berarti teknologi dan industri dalam negeri harus dikembangkan dan diutamakan.

“Ketiga, mengembangkan perekonomian. Kalau kita lihat yang ada dalam RUU EBT sekarang menggunakan pendekatan feed-in tariff (tarif masukan). Ini belajar dari luar negeri tapi tidak lengkap. Seharusnya pendekatan ini secara paralel satu sisi menyediakan EBT, di sisi lain mengembangkan teknologi dan industri energi terbarukan,” kata Mukhtasor dalam sebuah diskusi virtual, Senin (2/8).

Melalui pendekatan demikian, kata Mukhtasor, maka pada saatnya nanti kalau penyerapannya cukup, uang pajak dan pendapatan dari nilai tambah industri itu akan menjadi subsidi atas kelebihan harga. Sementara di Indonesia tidak begitu. feed-in tariff-nya dinaikkan tetapi peluang impornya digalakkan.

Baca Juga :   3 Fakta yang Perlu Dicermati Selama 2020 Versi Bank Indonesia

Menurut Mukhtasor, tanda-tanda impor akan digalakkan bahwa cara membuat energi saja satuannya pakai dolar bukan rupiah. Itu menjadi tanda bahwa memang Indonesia hanya akan menjadi pasar impor karena harganya naik.

“Padahal sekarang pengalaman PT PLN (Persero) sudah bisa melakukan pengadaan dengan harga yang lebih murah untuk EBT itu khususnya PLTS, tetapi kenapa kemudian ada regulasi yang mengarahkan feed-in tariff yang tinggi. Itu nomor satu yang saya kira yang penting sekali,” kata Mukhtasor.

Karena itu, kata Mukhtasor, kalau feed-in tariff diberi konteks untuk membangun industri nasional, itu cukup baik. Ketimbang harga listrik yang dinaikkan yang tidak wajar lebih baik uang yang akan dialokasikan tersebut membantu program-program masyarakat, BPPT, perguruan tinggi dan industri nasional.

“Di sana ada proyek nasional untuk mengakselerasi pembangunan energi terbarukan dengan cara seperti itu, uang tersebut berputar secara efektif. Kedua, bahayanya kalau peran PLN dikurangi tidak lagi memproduksi listrik, tapi beli dari swasta dengan harga yang tinggi, maka yang menikmati sebenarnya investor,” kata Mukhtasor.

Baca Juga :   Kemendag Berlakukan DMO Minyak Goreng dan DPO untuk CPO

 

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics