Rugi Sekitar Rp11 Triliun, Ini Penjelasan Pertamina

0
654
Reporter: Petrus Dabu

PT Pertamina (Persero) mengalami rugi bersih sebesar US$767,92 juta atau sekitar Rp11 triliun sepanjang semester pertama 2020 ini. Direktur Keuangan Pertamina, Emma Sri Martini mengatakan kerugian tersebut disebabkan oleh permintaan (demand) yang lemah, fluktuasi rupiah dan harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang menurun.

Emma saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan komisi VII DPR RI, Senin (31/8) menjelaskan Pertamina mengalami triple shock selama semester pertama 2020. Pertama, penurunan penjualan (sales) karena penurunan permintaan (demand) akibat Covid-19.

“Barangkali simtom ini yang mungkin tidak terjadi pada masa-masa krisis terdahulu dimana pandemi Covid ini signifikan sekali penurunan demand, ini menyebabkan revenue kita sangat terdampak,” ujar Emma yang hadir bersama direksi lain termasuk Direktur Utama PT Pertamina, Nicke Widyawati.

Menurutnya, meskipun di sisi lain harga minyak mentah selama pandemi Covid-19 ini juga turun tajam, tetapi permintaan yang rendah menyebabkan pendapatan Pertamina pun tergerus. Pendapatan Pertamina pada semester pertama 2020 tercatat sebesar US$20,48 miliar, turun 19,82% dibanding US$25,55 miliar pada semester pertama 2019 lalu.

Baca Juga :   BUMN akan Uji Coba Perdagangan Karbon, Pertamina Salah Satunya

Emma mengungkpakan penurunan penjualan terdalam terjadi pada April lalu. Namun pada Mei sudah mulai kembali meningkat. “Mei ke Juni sudah meningkat 7% dan terakhir kemarin kita closing di Juli itu sudah meningkat 5%,” ujarnya.

Faktor kedua yang menyebabkan Pertamina mengalami kerugian adalah karena fluktuasi nilai tukar rupiah. “Kita sangat terdampak sekali karena pembukuan kita dalam US Dollar, sementara revenue kita dalam rupiah dan kita belanja crude dalam US Dollar,” ujarnya.

Nilai rugi selisih kurs yang dialami Pertamiana pada semester satu 2020 adalah sebesar US$211,83 juta. Pada periode semester pertama 2019 lalu, Pertamina mengalami laba selisih kurs sebesar US$64,59 juta.

Ketiga, pelemahan ICP. Harga minyak mentah yang anjlok turut menyebabkan Pertamina mengalami kerugian. Mestinya harga ICP yang rendah ini memberikan margin yang tinggi pada bisnis hilir Pertamina. Tetapi Emma mengatakan hal itu tidak terjadi karena persedian (stok) meningkat.

“Kalau kita lihat posisi April-Mei itu avtur kita itu stoknya sampai 400 hari. Kemudian dari sisi solar juga sama dan itu menjadi inventory cost. Sementara revenue tidak ada,” ujarnya.

Baca Juga :   Sambut Arus Balik, Pertamina Siapkan 3 Mobile Storage di Rest Area Tol Purbaleunyi dan Cipali

Di sisi lain, tambahnya saat harga ICP turun tajam pada April lalu hingga mencapai US$21 per barel, tetapi kilang Pertamina tidak serta merta mengggunakan minyak mentah (crude) yang harganya murah itu atau masih menggunakan ICP yang harganya mahal.

“Karena ada lagging dua tiga bulan ke belakang. Ini secara pembukuan kita masih harga pokoknya masih mahal, tetapi harga jualnya sudah harga rendah karena harga jual sudah mengikuti harga ICP yang sudah terkini,” jelas Emma.

Namun, lebih lanjut ia menjelaskan pada Mei dan Juni, Pertamina sudah mulai menikmati harga minyak mentah yang rendah tersebut, meski pada saat itu ICP sudah mulai naik lagi.

“Jadi kelihatan nanti ada perbaikan dari sisi postur P/L (laba rugi) kita mulai bulan Juni ke depan,” ujarnya.

Ke depan, jelas Emma, kondisi keuangan Pertamina tergantung pada kondisi pandemi Covid-19. Bila kasus positif terus meningkat, bukan tak mungkin akan kembali menurunkan permintaan produk Pertamina sehingga penjualan kembali turun.

“Barangkali ini dari Juli ke Agustus dan selanjutnya ini yang harus disikapi,  jangan sampai postivity rate dari Covid ini menaik sehingga ada pengetatan kembali. Pengetatan kembali sangat terdampak pada profile revenue kita karena sales volum mengalami penurunan kembali,” ujarnya.

Leave a reply

Iconomics