PR Perlu Kelola Isu Manajemen Risiko dan Bedakan Media Massa dengan Media Sosial

0
972
Reporter: Rommy Yudhistira

Insan public relations (PR) diminta harus memahami antara relasi isu manajemen dan krisis manajemen dalam mengelola suatu perusahaan. Dengan demikian, terhindar dari konflik-konflik yang tidak diinginkan.

CEO Nexus Risk Mitigation and Strategic Communication Firsan Nova mengatakan, krisis terjadi lantaran PR tersebut gagal dalam menjalankan protokol isu risiko manajemen. Karena itu, untuk mencegah masuknya krisis, maka PR wajib menjalankan protokol risiko manajemen.

“Kalau saya kemudian kena Covid-19 ini krisis, maka artinya saya gagal mengelola risiko saya. Ada bank baik dengan isu negatif, dibiarkan maka sahamnya jatuh. Kenapa? risikonya dikelola, tapi isunya tidak,” kata Firsan dalam acara workshop The Iconomics, Kamis (28/7).

Selain itu, kata Firsan, insan PR juga harus dapat memahami persoalan yang terjadi di mana media sosial dapat menjadi sarana untuk memperkuat konflik dalam suatu isu yang berkembang. Untuk memahami itu, seorang yang berkecimpung dalam dunia PR, harus dapat memiliki strategi komunikasi, salah satunya dengan melakukan profiling terhadap isu atau konflik yang ingin diredam.

Baca Juga :   Maskapai Arab Saudi Kembali Beroperasi di Indonesia

“Kami kebetulan diminta oleh KPC-PEN untuk mengawal isu vaksin, 14 hari sebelum presiden disuntik. Sebelumnya, ini dikasih tahu ke publik, IDI harus di kapal yang sama, MUI di kapal yang sama, jadi satu-satu. Setelah kekuatan sudah oke, baru ngomong,” kata Firsan.

Menurut Firsan, insan PR juga harus terbiasa dalam menghadapi isu-isu negatif, yang berguna sebagai bahan pembelajaran bagi insan PR untuk menangani masalah atau konflik dalam perusahaan. Manajemen risiko dikelola bersamaan dengan isu manajemen.

“Kalau kejadian krisis, maka isu manajemen harus dikelola sama dengan risk management. Sama-sama. Bagaimana kalau mau recover, hanya pakai isu manajemen itu tidak cukup, harus dengan risk management. Begitu juga dengan mitigasi, sama,” kata Firsan.

Soal isu dan berita negatif yang kerap beredar di media sosial, praktisi media Agus Sudibyo mengatakan, seorang PR harus memahami antara berita yang dikeluarkan media massa, dengan informasi yang keluar dari media sosial.

Dewan Pers, kata Agus, dengan tegas menyatakan media yang tidak profesional, tidak memiliki badan hukum, dan kantor yang jelas, setiap berita yang dikeluarkan bukan produk dari pers. Jika bukan pers, maka tidak bisa berpraktik sebagai pers.

Baca Juga :   KSP Moeldoko Nilai Isu Pemakzulan Jokowi Bisa Ganggu Stabilitas Keamanan Negara

“Kalau berpraktik (pers) itu bisa diadukan dengan Undang-Undang Pers dan undang-undang yang lain. Itu tegas sekali,” kata Agus yang juga menjabat Head and Strategic Communication itu.

Kendati demikian, kata Agus, Dewan Pers sebagai lembaga tidak dapat menghalangi setiap orang untuk membuat media, lantaran menjadi bagian dari demokrasi di Indonesia. Akan tetapi, agar setiap perusahaan dapat lebih selektif untuk menghindari praktik-praktik pemberitaan negatif yang bukan berasal dari produk jurnalistik.

“Contohnya begini, sekarang ini banyak pemerintah provinsi yang membuat peraturan, mereka hanya mau placement di media-media yang terdaftar di Dewan Pers. Itu semakin banyak sekarang. Itu diprotes sama media abal-abal, tapi mereka jalan terus, karena Dewan Pers support mereka,” kata Agus.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics