
Potret Kinerja Lembaga Jasa Keuangan di Tengah Tekanan Pandemi Covid-19

Ketua DK OJK Wimboh Santoso/OJK
Angka tersebut, jelas Wimboh, tidak jauh berbeda dengan angka-angka sebelumnya. “Ini menunjukkan permodalan perbankan sangat resilience dan ini mempunyai backup yang kuat untuk mendorong pertumbuhan kredit ke depan,” jelasnya.
Dari sisi likuiditas, diakui Wimboh program restrukturisasi memang berdampak pada likuiditas perbankan. Namun demikian, jelasnya, sejak awal OJK bersama dengan Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan berupaya keras agar likuiditas di industri perbankan dan di industri keuangan cukup diantaranya melalui berbagai kebijakan BI dan belanja pemerintah. BI telah melakukan pelonggaran berbagai ketentuan di antaranya penurunan GWM yang cukup drastis juga policy rate yang diturunkan menjadi 4%. Belanja pemerintah, jelas Wimboh juga memberikan amunisi likuiditas di pasar menjadi lebih besar.
Kebijakan relaksasi terkait likuiditas yang dilakukan oleh OJK, jelasnya, juga memberikan ruang yang luas bagi industri perbankan untuk bisa lebih menjaga likuiditasnya. OJK telah melakukan relaksasi batas atau theresold likuidity coverage ratio (LCR) dan net stable funding ratio (NSFR) menjadi 85% dari sebelumnya di atas 100%.
OJK, tambah Wimboh juga menunda penerapan sementara Basel III Framework sampai akhir tahun 2022 yang seharusnya ditetapkan lebih awal di tahun 2021.
Wimboh mengatakan pada Februari 2020 lalu rasio alat likuid (AL) per DPK sebesar 23,89% dan di 22 Juli 2020 menjadi 27,59%. Sedangkan AL per non core deposit pada Februari 113,16% dan pada 22 Juli menjadi 130,02%.
Likuiditas yang stabil di pasar juga terlihat dari beberapa indikator di pasar uang yang cenderung konstan atau bahkan menurun. Suku bunga PUAB over night turun, baik rupiah maupun valas menjadi 3,7% untuk rupiah dan 0,04% untuk valas.
Di sisi dana pihak ketiga secara industri pada kuartal kedua 2020 masih tumbuh sebesar 7,95% yoy dimana pada kuartal pertama 2020 sebesar 9,54%. Bahkan pertumbuhan ini lebih tinggi dari periode kuartal kedua 2019 yang sebesar 7,42%.
“Masih akan banyak likuiditas yang masuk ke pasar karena realisasi dari budget spending pemeritah, khusus untuk pandemi Covid ini mengalokasikan sebesar Rp690 triliun sampai dengan akhir tahun. Tentunya ini akan memberikan ruang untuk likuiditas di sektor keuangan,” ujarnya.
Wimboh mengatakan pembukaan kembali aktivitas ekonomi secara bertahap oleh pemerintah diharapkan akan kembali menggerakan sektor riil. Hal ini tentu memberikan dorongan bagi perbankan untuk kembali memberikan kredit terutama kepada debitur yang direstrukturisasi.
Dalam situasi pandemi ini, motor penggerak pertumbuhan memang bertumpu pada permintaan domestik. Dan menurut Wimboh, pemerintah memiliki komitmen yang tinggi untuk memperkuat kembali permintaan di dalam negeri.
“Di perbankan kita harapkan untuk bisa lebih proaktif untuk meningkatkan kredit apalagi perbankan yang sudah menerima penempatan dana pemerintah dimana bank Himbara Rp30 triliun dan BPD 11,5 triliun,”ujarnya.
Penempatan dana pemerintah ini, jelasnya tentu akan mendorong pertumbuhan kredit ke depannya terutama untuk UMKM. Apalagi penempatan dana tersebut dengan syarat leverage penyaluran kredit sebesar 3 kali lipat untuk Himbara dan 2 kali lipat untuk BPD.
Hingga 27 Juli, dari Rp30 triliun penempatan dana pemerintah di bank Himbara, jumlah penyaluran kredit sudah mencapai Rp49,7 trilun atau 165% terhadap alokasi dana atau sudah mencapai 41,1% dari target distribusi sebesar Rp121 triliun.
Halaman Berikutnya
Leave a reply
