Mengurai Harga Daging Sapi yang Pantang Turun

0
1972
Reporter: Petrus Dabu

Sudah seperti harga tanah. Harga daging sapi tidak pernah turun, naik terus. Bahkan di tengah pandemi Covid-19 saat permintaan sedang melemah, harga daging sapi tetap saja naik.

Dalam enam tahun terakhir, 2016 hingga 2021, tingkat kenaikan tahunan (compounded annual growth rate/CAGR) harga daging sapi (paha belakang) sebesar 1,63%. Mengutip data Kementerian Perdagangan, tahun 2016 rata-rata harga daging sapi masih di level Rp113.200 per kilogram. Harga pangan ini terus naik hingga berada di level Rp124.700 per kilogram pada tahun 2021.

Awal tahun 2022 ini harga daging sapi makin menggila. Harga rata-rata daging sapi hingga 19 Januari 2022 adalah sebesar Rp126.554 per kilogram, naik 4,37% dibandingkan periode Januari 2021 lalu.

“Harga daging dari 10 atau 20 tahun yang lalu itu enggak pernah turun. Kayak harga tanah. Harga tanah tidak turun karena jumlah penduduk bertambah terus, sementara tanahnya tetap. Ini (daging sapi) juga kemungkinan begitu,” kata Pengamat Peternakan Sapi Rochadi Tawaf kepada Theiconomics, Senin (17/1).

Kenaikan harga ini, jelas Rochadi, terjadi karena kesenjangan atau gap antara pertumbuhan produksi sapi (supply) dan permintaan yang kian lebar. Permintaan tumbuh lebih tinggi, sementara pertumbuhan produksi sapi relatif rendah. Kebijakan importasi pun menjadi jalan pintas untuk mengatasi gejolak harga, tanpa ada pendekatan baru untuk memperkuat produksi sapi dalam negeri.

Kesenjangan ini diakui oleh pemerintah. Dalam ‘Outlook Komoditas Daging Sapi 2020’ Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa pada tahun 2021 lalu, kebutuhan daging nasional diperkirakan sebesar 685,85 ribu ton. Sementara produksi nasional daging sapi dan kerbau sebesar 425,82 ribu ton ton. Karena itu, masih terjadi defisit sebesar 260,03 ribu ton. Kondisi defisit ini diperkirakan akan terus meningkat menjadi sebesar 261,08 ribu ton pada tahun 2022, sebesar  261,67 ribu ton pada tahun 2023 dan, 268,36 ribu ton pada tahun 2024.

Baca Juga :   Prabowo Minta Harga Daging dan Telur Diturunkan Lagi

Kesenjangan antara produksi dan konsumsi ini sudah terjadi sejak era 1990-an, seperti terlihat dalam penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Ketut Kariyasa dalam ‘Analisis Penawaran dan Permintaan Daging Sapi di Indonesia Sebelum dan Saat Krisis Ekonomi: Suatu Analisis Proyeksi Swasembada Daging Sapi 2005’, mengungkapkan rata-rata produksi daging sapi di Indonesia selama periode 1990-1999 adalah 193,7 ribu ton. Sementara rata-rata konsumsi daging sapi pada periode yang sama adalah 202,4 ribu ton. Dus, terjadi excess demand sebesar 8,7 ribu ton per tahun (4,13% dari total konsumsi) yang didatangkan dengan cara mengimpor dari beberapa negara seperti Australia, Selandia Baru, dan negara lainnya.

Upaya untuk mengatasi kesenjangan antara kebutuhan dan konsumsi ini dilakukan pemerintah melalui program swasembada yang sudah digaungkan sejak tahun 2000. Namun, swasembada ini terkesan hanya jargon karena sudah berkali-kali gagal.

Menurut Rochadi, kegagalan ini terjadi karena sejumlah faktor, diantaranya. Pertama, karena berbagai kebijakan pemerintah sendiri yang kontraproduktif. Ia mengambil contoh kebijakan larangan menggunakan hormon pertumbuhan pada usaha ternak sapi potong. Larangan ini diatur dalam pasal  22 ayat 4c, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Anehnya, menurut Rochadi, meski Indonesia melarang menggunakan hormon, tetapi di sisi lain Indonesia mengimpor sapi dari negara yang menggunakan hormon. Pemerintah, menurutnya, mestinya mencabut kebijakan larangan menggunakan hormon ini. Penggunaan hormon diizinkan dengan pengawasan yang ketat. Hormon yang digunakan hanya yang natural bukan yang sintetik.

Baca Juga :   BUMD Dharma Jaya Siapkan Sejumlah Strategi untuk Tahun 2024

Kedua, pendekatan yang konvensional dalam pengembangan peternakan sapi. Menurut Rochadi sejak zaman dulu peternakan sapi di Indonesia hanya dikembangkan di sejumlah wilayah seperti Jawa, Bali, NTB dan NTT.

“Kenapa enggak dilakukan di pulau-pulau kosong? Kita punya sejarah luar biasa kerbau di lepas di pulau Moa (Kabupaten Maluku Barat Daya), itu overpopulated. Sekarang terkenal dengan sebutan Kerbau Moa. Itu enggak pernah dilakukan di pulau-pulau kosong lain,” ujarnya.

Selain di pulau-pulau kosong, menurut Rochadi pendekatan lain adalah mix farming seperti pengembangan perternakan sapi di perkebunan kelapa sawit. Lahan-lahan bekas tambang di Kalilmantan juga bisa digunakan untuk peternakan sapi.

Ketiga, kepentingan pragmatis segelintir oknum sehingga melanggengkan kebijakan importasi. Kebijakan impor sapi atau daging sapi adalah upaya cepat untuk mengatasi gejolak harga di dalam negeri. Menurut Rochadi, kebijakan impor terutama impor daging ini memang menguntungkan konsumen karena dapat mengendalikan harga. Tetapi ketergantungan pada impor akan menyebabkan kiamat dunia peternakan dalam negeri. Kebijakan impor tidak memberikan nilai tambah bagi peternak, meski memberikan keuntungan cepat bagi segelintir pihak termasuk pejabat yang menerima fee.

Untuk mengatasi gejolak harga daging sapi, menurut Rochadi, tidak harus melakukan impor. Asalkan Indonesia serius, menurutnya, Indonesia bisa melakukan swasembada. “Potensi Indonesia luar biasa. Teman-teman di Australia juga pada bilang Indonesia bisa,” ujarnya.

Baca Juga :   Kepala Badan Pangan Nasional Ungkapkan Kesiapan Pasokan Daging Menghadapi Hari Besar Keagamaan

Ia mengatakan satu-dua perusahaan sudah berhasil melakukan mix farming di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan. Tetapi perlu lebih banyak lagi perusahaan sawit yang mengembangkan model serupa agar menjadi gerakan yang massif. Pemerintah juga perlu memberikan insentif untuk mendorong perusahaan-perusahaan sawit mengembangkan mix farming ini.

Insentif juga harusnya diberikan kepada peternak-peternak yang melakukan pembiakan sapi. Karena, menurut Richadi, sesuai Undang-Undang pembiakan adalah tugas pemerintah. “Sekarang diserahkan 100% kepada masyarakat untuk meningkatkan populasi. Tetapi insentifnya enggak ada,” ujarnya.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Halaman Berikutnya
1 2

Leave a reply

Iconomics