
Menelaah Sengketa Kreditur Sindikasi dan Titan Infra Energy, Bagaimana Akhirnya?

Ilustrasi larangan ekspor batubara/Tempo
Beberapa waktu belakangan ramai pemberitaan mengenai PT Titan Infra Energy yang merupakan entitas usaha dari Titan Group. Selain karena utangnya yang bernilai jumbo, juga karena sebagian permohonan praperadilan mereka terhadap Breskrim Mabes Polri di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dikabulkan hakim.
Khusus soal utang, misalnya, Kontan Business Insight mencatat utang Titan Group mencapai US$ 837 juta atau setara Rp 12,14 triliun. Dari jumlah tersebut, sejumlah bank sudah memasukkan kredit Titan termasuk kategori macet.
Untuk Titan Infra Energy utangnya mencapai US$ 450 juta dan mengalami kredit macet di sindikasi PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank CIMB Niaga Tbk, Credit Suisse, dan Trafigura. Titan memperoleh kredit sindikasi tersebut pada 2018 dan sejak Februari 2020, perusahaan tidak menjalankan kewajibannya mencicil utang kepada sindikasi tersebut. Ujungnya sindikasi mengajukan gugatan hukum.
Soal macet itu, laporan Kata Data pada 1 Juli lalu menyebutkan bahwa VP Corporate Communication Bank Mandiri Ricky Andriano mempertanyakan itikad baik Titan Energy untuk menunaikan kewajibannya. Musababnya, sejak berhenti mencicil pada Februari 2020, dan mendapat label kredit macet dari para kreditur pada Agustus 2020, hingga kini Titan tak melaksanakan kewajiban sesuai kesepakatan awal.
Seperti Bank Mandiri, Head of Corporate Affairs Bank CIMB Niaga Susianan Tanto kepada Kontan Business Insight mengatakan, pinjaman Titan saat ini berstatus kredit macet. Tetapi, operasionalnya masih berjalan.
Lantas mengapa kasus kredit macet ini bisa masuk ke ranah hukum? Menurut Bank Mandiri seperti yang dilaporkan Kontan Business Insight, ada dugaan pencucian uang dan penggelapan dana yang menyebabkan kredit macet.
Soal ini, Direktur Utama PT Titan Infra Energy Darwan Siregar seperti yang dilaporkan Kata Data mengatakan, perusahaan mengajukan restrukturisasi utang karena kinerja bisnis yang memburuk saat pandemi Covid-19. Dan itu sesuai dengan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait relaksasi stimulus perekonomian Indonesia saat pandemi Covid-19.
Di samping itu, perusahaan juga berupaya untuk terus mencicil kredit sindikasi. Kepada Kontan Business Insight, Darwan memaparkan, untuk 2021, Titan membayar lebih dari US$ 46 juta. Sementara hingga Juni 2022, Titan telah membayar lebih dari US$ 35 juta. Lalu, kata Darwan, pihaknya juga akan mendatangi Bank Mandiri dengan harapan komunikasi bisa berjalan lebih baik lagi
Ditambah lagi, kata Darwan, Titan berupaya mengajukan restrukturisasi kredit sepanjang 3 tahun terakhir kepada kreditur sindikasi. Hasilnya: kreditur sindikasi menolak. Mengapa? Kreditur sindikasi menilai Titan mampu menyelesaikan kewajibannya dan tak layak mengajukan restrukturisasi dengan alasan terdampak pandemi Covid-19.
Buktinya seperti yang disampaikan Bank Mandiri kepada Kata Data, penjualan batu bara Titan mencapai US$ 226 juta lebih pada 2020 dan meningkat tajam pada 2021 mencapai US$ 281 juta. Hal itu salah satunya dipicu oleh tren harga batu bara dunia yang terus merangkak naik, dari US$ 40 per ton pada saat kredit disalurkan pada 2018, melonjak hingga sempat menyentuh US$ 400 per ton pada Juni 2022. Dengan harga batu bara dan penjualan yang terus meningkat, kreditur sindikasi menilai Titan mampu menyelesaikan kewajibannya dan tidak layak mengajukan restrukturisasi.
Lantas, bagaimana ujung dari sengketa kreditur sindikasi dan kredit macet Titan itu?
Leave a reply
