
Industri Sawit Hadapi Sejumlah Tantangan di 2024 dari Aspek Global hingga Dalam Negeri

Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengungkapkan industri kelapa sawit menghadapi sejumlah tantangan saat ini. Tantang itu antara lain masalah geopolitik global dan peraturan soal sawit menjai catatan khusus para pengusaha kelapa sawit.
Ketua Umum Gapki Eddy Martono menuturkan, tensi geopolitik di sejumlah wilayah negara menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja industri sawit di 2024. Karena itu, pemerintah diminta mengeluarkan kebijakan yang bisa berdampak positif terhadap industri sawit nasional.
“Ditambah lagi perang Timur Tengah belum tahu kapan akan berakhir, ditambah lagi konflik Israel dengan Iran, ini juga pasti akan mempengaruhi ekonomi global. Ini yang mestinya harus nanti kebijakan-kebijakan juga harusnya melihat ke situ supaya minyak sawit kita masih kompetitif di pasar internasional,” kata Eddy dalam acara Halalbihalal Gapki di Shangrila Hotel, Jakarta, Selasa (30/4) kemarin.
Selanjutnya, kata Eddy, kampanye negatif yang masih terjadi hingga saat ini dinilai turut berkontribusi terhadap turunnya kinerja sawit. Data Gapki menunjukkan ekspor produk sawit untuk tujuan Uni Eropa turun 7,34% menjadi 341 ribu ton dari sebelumnya 368 ribu ton.
“Karena ini, kalau saya melihat ini adalah persaingan dagang. Contoh begitu sawit ada pelarangan mereka berlomba-lomba bagaimana untuk mengamankan minyak nabati,” ujar Eddy.
Dari sisi dalam negeri, kata Eddy, kebijakan dan peraturan perundangan yang tidak sinkron menyebabkan kerancuan implementasi di lapangan. Semisal, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 05 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, terdapat perbedaan yang mengatur persyaratan sektor industri crude palm oil (CPO).
“Ini pabrik-pabrik tanpa kebun, sekali lagi kami sampaikan bahwa Gapki tidak anti-terhadap pabrik tanpa kebun, karena semua ada aturannya sebenarnya. Yang kami khawatirkan adalah kita sudah bermitra di situ, kemudian kapasitas kita sudah disesuaikan dengan mitra kita semua, kemudian tiba-tiba ada pabrik tanpa kebun yang didirikan di depan pintu kita. Akibatnya kemitraan kita rusak,” tambah Eddy.
Kemudian, lanjut Eddy, terdapat masalah perkebunan sawit yang terindikasi dimasukkan ke dalam kawasan hutan seluas 3,4 juta hektare. Karena itu dikhawatirkan terjadi penurunan luas area dan produksi sawit, lantaran industri hanya diperbolehkan menyelesaikan sisa siklus tanaman yang ada.
“Produksi dan produktivitas relatif stagnan dan cenderung turun, konsumsi dalam negeri terus meningkat (pangan, biodiesel, oleochemical), volume ekspor cenderung menurun, realisasi peremajaan sawit rakyat (PSR) sangat rendah. Perlunya dedicated area untuk kebun energi pada areal yang terdegradasi,” ujar Eddy.
Leave a reply
