
Indef: Jangan-jangan Ini Titik Permulaan untuk Jatuh ke Jurang yang Lebih Dalam

Ilustrasi/Ist
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengingatkan pemerintah untuk tak terlampau optimistis performa ekonomi pada triwulan ketiga dan keempat akan kembali pulih. Selama kasus pandemi Covid-19 belum terkendali, ketidakpastian ekonomi juga tetap tinggi.
Pada Rabu (5/8), Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mengalami kontraksi -5,32%. Ini merupakan pertumbuhan terendah sejak triwulan pertama tahun 1999 lalu.
Pemerintah sendiri optimistis triwulan ketiga ekonomi akan berangsur-angsur pulih. “Kuartal ketiga kita masih berharap growth-nya adalah minimal 0% atau +0,5%. Memang probabilitas negatif masih ada, karena penurunan dari beberapa sektor mungkin tidak secara cepat akan pulih kembali,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani di Jakarta, Rabu (5/8).
Pada triwulan keempat, pemerintah berharap pertumbuhan ekonomi bisa meningkat bahkan mendekati 3%. Bila itu terjadi, maka keseluruhan pertumbuhan ekonomi tahun 2020 ini diharapkan tetap terjaga pada zona positif. “Minimal 0% hingga 1%,” ujar Sri Mulyani.
Namun, Indef menyebutkan selama pandemi Covid-19 belum terkendali dan tidak ada gebrakan kebijakan pemerintah untuk mengendalikannya, maka kemungkinan kontraksi pada triwulan kedua yang lalu bukanlah titik terendah.
“Jangan-jangan ini titik permulaan untuk jatuh ke jurang yang lebih dalam. Belum ada juga yang memastikan itu. Karena yang pasti yang terjadi di Indonesia itu adalah pandeminya terus naik, ekonomi belum pulih. Triwulan ketiga juga kebanyakan proyeksinya masih negatif. Dengan gambaran-gambaran seperti ini terlalu dini untuk mengatakan situasi ekonomi kita di triwulan kedua yang -5,32% itu adalah titik terendah dan seolah-olah akan segera naik. Padahal sangat belum tentu,” ujar Wakil Direktur Indef, Eko Listiyanto saat konferensi pers virtual, Kamis (6/8).
Eko mengatakan optimisme akan adanya pemulihan pada triwulan ketiga tidak bisa hanya melihat indikator Purchasing Manager’s Index (PMI) yang sudah naik pada Juni lalu. Sebelumnya, saat konferensi pers, Sri Mulyani menjadikan kenaikan indeks PMI sebagai salah satu indikator yang menunjukkan adanya pemulihan ekonomi pada semester kedua 2020. Selain itu, menurut Sri Mulyani, beberapa indikator lainnya juga menunjukkan adanya pemulihan ekonomi seperti kenaikan penerimaan pajak serta impor bahan baku dan barang modal.
Namun Eko mengatakan indikator-indikator tersebut belum cukup, selama kasus Covid-19 belum terkendali.”Karena mereka pun juga akan melihat bagaimana continuity dari penanganan pandemi itu sendiri. Sementara effort kita masih kurang dibandingkan negara-negara lain dalam mengatasi persoalan pandemi Covid-19 ini,” ujar Eko.
Karena itu, Eko meragukan bila saat ini sudah masuk ke fase pemulihan (recovery) dan sudah melampaui titik terendah (bottom) kontraksi ekonomi. Alasannya, karena saat ini dari pandemi Covid-19 sendiri yang menjadi sumber masalah belum teratasi.
Didik J. Rachbini, ekonom senior Indef mengatakan pemerintah sendiri sebenarnya gagal baik dari sisi penanganan Covid-19 itu sendiri maupun menangani persoalan ekonominya. Sebab, pada triwulan kedua lalu, justru konsumsi pemerintah ikut menyumbang kontraksi ekonomi, alih-alih sebagai pendorong pertumbuhan.
“Jadi ekonominya tidak teratasi, pandeminya tidak teratasi, maka ekonominya lebih jauh mengalami pertumbuhan negatif,” ujar Didik.
Didik mengatakan selama pandemi ini, pemerintah juga gagal memacu pertumbuhan yang lebih tinggi dari sektor informasi dan komunikasi (infokom) serta sektor kesehatan. Mengutip data yang dirilis BPS, sektor infokom merupakan sektor dengan pertumbuhan terbesar pada triwulan kedua secara year on year yaitu mencapai 10,88%. Sedangkan secara quarter to quarter, pertumbuhan sektor infokom sebesar 3,44%.
Menurut Didik, mestinya pandemi Covid-19 ini menjadi momentum sektor infokom untuk tumbuh jauh lebih tinggi lagi. Sebab, saat ini proyek palapa ring sudah siap, tinggal bagaimana bisa menjangkau ke seluruh masyarakat melalui tiang-tiang listrik. Sayangnya menurut dia penyewaan tiang listrik itu mahal. “Sekarang dikasih gratis saja atau diskon separuh atau disubsidi pemerintah karena tingkat elektrifikasi dari listrik itu sudah 95% di seluruh Indonesia. Jadi kalau ada banyak daerah tidak dapat sinyal itu mutlak karena ketidakmampuan pemerintah dalam kebijakan informasi dan komunikasi,”ujarnya.
Selain sektor infokom, sektor yang juga mestinya mendapatkan momentum pertumbuhan yang tinggi saat pandemi ini adalah sektor kesehatan. Menurut data BPS, pada triwulan kedua lalu, jasa kesehatan tumbuh 3,71% secara year on year, tetapi -4,15% secara quarter to quarter. Sayangnya, menurut Didik, hampir 90% bahan baku di sektor kesehatan diimpor. “Sektor kesehatan itu drakula penghisap darah devisa. 90% itu diimpor dan di situ banyak mafia,” ujarnya.
Leave a reply
