
Indef: Ada Dualisme Terkait dengan Perubahan Nama UU KUP Jadi RUU HPP

Tangkapan layar YouTube, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad/Iconomics
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai adanya dualisme terkait perubahan nama Rancangan Undang Undang (RUU) Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Perubahan nama tersebut lantaran ketentuan umum perpajakan yang ada di Indonesia tidak dapat berdiri sendiri.
Karena itu, kata Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad, harus ditopang dengan perundang-undangan dari masing-masing sumber perpajakan baik yang bersifat administratif maupun substantif. Muatan perubahan RUU itu tidak hanya soal ketentuam umum perpajakan, tapi harmonisasi peraturan perpajakan.
“Kami juga melihat kenapa ini didahulukan substansinya karena tadinya adalah induknya perubahan ketentuan perpajakan tapi ketika memuat banyak hal berkaitan dengan PPh, PPN, cukai, dan sebagainya,” kata Tauhid dalam diskusi virtual, Rabu (6/10).
Jika dilihat dari sisi administrasi ketentuan umum dan tata cara perpajakan, kata Tauhid, menjadi lebih dominan. Sedangkan dari sisi substansi, lebih banyak mengacu terhadap UU yang berada dalam ranah reformasi perpajakan baik PPN, PPh, cukai maupun pajak lainnya.
“Saya kira ini dualisme berjalan beriringan tanpa harus memutuskan apakah memang yang lama itu tetap berlaku atau kemudian yang lama juga akan disesuaikan. Ini yang saya kira akan menjadi tantangan ke depan,” ujar Tauhid.
Di samping itu, kata Tauhid, pemerintah memiliki tujuan untuk mencapai target defisit 3% untuk anggaran pendapatan belanja negara (APBN) pada 2023. Karenanya, diperkirakan negara membutuhkan pendapatan senilai Rp 600 triliun hingga Rp 700 triliun untuk mencapai target 2023 itu.
“Ini sangat penting mengingat pemerintah bersama DPR beberapa waktu mendatang akan membawa draf yang sudah disepakati di forum Badan Legislasi (DPR) untuk dibawa ke sidang paripurna,” kata Tauhid.
Dari sisi penerimaan yang sudah dilakukan pemerintah saat ini, kata Tauhid, target defisit berpotensi naik di atas 3% pada 2023. Soalnya, peningkatan penerimaan negara sulit dilakukan ketika kondisi Indonesia sedang melakukan pemulihan ekonomi.
“Jadi masih sangat bergantung bagaimana sektor-sektor di penerimaan negara khususnya perpajakan seperti industri, manufaktur, kemudian sektor perdagangan, itu baru bisa cepat pulih dan tumbuh,” ujar Tauhid.
Dari sisi pengeluaran negara terutama yang berbasis konsumsi, kata Tauhid, dinilai masih relatif rendah dibandingkan dengan pertumbuhan belanja pada investasi pemerintah dan ekspor-impor. Dampaknya PPN konsumsi menjadi jauh lebih lambat dari perkiraan semula.
“Ini yang saya kira punya peluang potensi melebar, kecuali benar-benar bahwa mau tidak mau belanja untuk pemulihan ekonomi akhirnya dikurangi secara drastis. Urgensi itu yang perlu didiskusikan kembali,” katanya.
Leave a reply
