
Gappri Nilai Target Cukai CHT 2023 di Atas Nilai Keekonomian

Ilustrasi, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menilai target cukai hasil tembakau (CHT) 2023 sulit dicapai/Rakyat Merdeka
Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menilai target cukai hasil tembakau (CHT) senilai Rp 245,45 triliun untuk 2023 sulit untuk terpenuhi. Tidak hanya 2023, target CHT untuk tahun ini saja masih sulit untuk mencapainya.
Ketua Umum Perkumpulan Gappri Henry Najoan mengatakan, situasi ekonomi saat ini dalam kondisi yang tidak stabil dan daya beli yang semakin lemah terutama setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Karena itu, inflasi pada 2022 diperkirakan akan mencapai 6,3%-6,7% yang menyebabkan daya beli menurun.
“Salah satu fenomena yang terjadi, gap harga antara rokok ilegal dan rokok legal yang terlalu lebar lalu perokok akan migrasi membeli rokok murah yang ilegal dan tergerusnya pangsa pasar rokok legal,” kata Henry dalam keterangan resminya beberapa waktu lalu.
Henry karena itu mengingatkan, selain kesenjangan harga yang terlalu lebar, industri sebenarnya juga kelimpungan dengan tingginya pungutan langsung negara terhadap produk tembakau. Selama ini, IHT legal selain dipungut melalui CHT, juga dibebani Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) sebesar 10% dari nilai cukai dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 9,9% dari harga jual eceran hasil tembakau.
Jika dijumlahkan, kata Henry, pungutan ketiga komponen pungutan langsung tersebut, akan sekitar 76,3% – 83,6 % dari setiap batang rokok yang dijual.
“Tapi dalam praktiknya, pungutan lebih dari itu. Pasalnya, masih ada pungutan pajak tidak langsung dan berbagai kewajiban seperti tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Dan semakin tinggi golongan, semakin tinggi pula pungutan yang harus diserahkan ke negara,” kata Henry.
Karena itu, kata Henry Najoan, ada hitung-hitungan yang bisa menjelaskan bahwa angkanya melebihi dari peraturan yang berlaku. Untuk rokok golongan I, Sigaret Kretek Mesin isi 12 batang, dari harga yang dibanderol sebesar Rp 22.875, harga dari produsen Rp 19.800, dengan tarif cukai per batangnya sebesar Rp 985, ditambah pajak daerah sebesar Rp 98,5 dan PPN, total yang harus disetorkan oleh pabrikan mencapai 76,3% dari penjualan setiap rokok golongan ini.
Sementara, di rokok golongan II, isi 20 batang dengan harga banderol Rp 20.425, dari produsen Rp. 18.000. Dengan tarif cukai per batangnya Rp 600, cukai yang harus dibayar mencapai 66,7%. “Dengan tambahan pajak daerah dan PPN, angka kisaran pungutannya mencapai 83,6%, dari penjualan setiap rokok golongan ini,” ujar Henry.
Dengan beban seberat itu, kata Henry, pabrikan merasa sudah berada di titik penghabisan. “Sayangnya, angka-angka tersebut, tak banyak difahami oleh sebagian pihak yang terus mendesak kepada pemerintah menaikkan tarif cukai,” ujar Henry.
Henry mengatakan, pihaknya memperkirakan, kalau 2023, pemerintah menaikkan tarif cukai rata-rata 11,8%, akibatnya akan semakin berat dan angka pungutan dari setiap batang rokok akan makin tinggi dan pabrikan akan semakin lemah arus kasnya.
“Dengan kondisi itu, tak terelakkan, jika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan menurunnya penyerapan tembakau dan cengkeh dari petani,” katanya.
Sebelumnya, dalam buku II Nota Keuangan Rencana Anggaran Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2023, pemerintah menargetkan proyeksi penerimaan dari cukai mencapai Rp 245,45 triliun atau naik 9,5% dari outlook tahun 2022 yang diperkirakan sebesar Rp 224,2 triliun.
Dari angka Rp. 245,45 triliun tersebut, pemerintah menargetkan CHT sekitar Rp 232,6 triliun atau naik 10,8% dari tahun 2022 sebesar Rp. 209,9 triliun sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022.
Leave a reply
