
Ekonom SMF Ungkap Strategi Pengembangan Sektor Perumahan ke Depan

Chief of Economist PT Sarana Multigriya Finansial (SMF), Martin Daniel Siyaranamual/Dok. Iconomics
Sektor perumahan memiliki ruang pertumbuhan yang besar. Chief of Economist PT Sarana Multigriya Finansial (SMF), Martin Daniel Siyaranamual mengatakan bahwa pertumbuhan kredit properti di Indonesia masih cukup tinggi yaitu sekitar 8%. Secara komposisi kredit rumah tangga, kredit multiguna menempati posisi pertama sebesar 42,69%, disusul dengan kredit perumahan sebesar 42,12%, kendaraan bermotor sebesar 7,48%, dan kredit lainnya sebesar 4,03%.
“Komposisi rumah tangga setelah kredit multiguna, jadi setelah masyarakat ngambil kredit, biasanya kredit multiguna, yang kedua kredit perumahan dan itu masih baik posisinya, dan kalau kita lihat juga di berbagai daerah pertumbuhan KPR (kredit pemilikan rumah) itu masih tinggi,” kata Martin dalam konferensi pers SMF pada Selasa (07/03/2023).
Adapun beberapa daerah dengan pertumbuhan KPR tertinggi diantaranya Sulawesi Tenggara sebesar 17,85%, Sulawesi Tengah sebesar 16,76%, DKI Jakarta sebesar 11,28%, Banten sebesar 11,22%, dan Jawa Barat sebesar 9,22%.
Martin menyampaikan bahwa rasio KPR terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih sangat kecil yaitu kisaran 2,99% di tahun 2022. Padahal Kementerian Keuangan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah menggelontorkan dana sebanyak Rp175,36 triliun untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
“Jadi bayangkan uang yang sudah digelontorkan dari pemerintah ke sektor perumahan ga sedikit, tetapi dia belum bisa mendorong peran sektor perumahan dalam pembentukan PDB, dan program yang ada hari ini relatif sudah mampu untuk menahan laju backlog, shortage dari rumah,” jelas Martin.
Menurutnya, menahan backlog saja tidak cukup dan saat ini program pemerintah yang mampu menahan jumlah backlog tercatat di tahun 2021 hanya sebesar 12,72 juta.
“Masalahnya adalah menahan laju backlog itu ga cukup, perlu ada kebijakan yang mendorong perbaikan kondisi bukan menahan kondisi, bukan menjaga kondisi,” jelasnya.
Hal ini juga seiring dengan penambahan jumlah penduduk Indonesia sehingga angka backlog tidak berubah.
Martin menyampaikan dalam dua dekade ke depan sektor perumahan akan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Mulai dari pertumbuhan permintaan sejalan dengan pertumbuhan penduduk, aspirasi masyarakat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, kualitas hunian dan keterjangkauan harga. Kemudian, perubahan struktur demografi, lahan yang semakin terbatas, serta dukungan fiskal bagi sektor perumahan yang semakin terbatas.
Untuk mengatasi backlog kepemilikan rumah tersebut, Martin mengungkapkan perlunya memperhatikan dukungan regulasi. Adapun regulasi yang dimaksud antara lain regulasi yang mendisiplinkan seluruh pemangku kepentingan di sektor perumahan, meningkatkan penetrasi jasa keuangan di masyarakat, sektor perumahan menjadi salah satu sektor prioritas yang berbeda dengan sektor infrastuktur pada umumnya.
Selanjutnya, fokus pada pengembangan kapasitas Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dalam menyalurkan KPR, khususnya untuk pekerja informal, recycling fiskal pemerintah yang sudah disalurkan ke sektor perumahan agar dapat menjadi dana bergulir, terakhir perbaikan kondisi di jasa intermediasi keuangan.
“Nah keenam hal ini sebetulnya kami melihat bahwa itu menjadi krusial untuk mengembangkan sektor perumahan,” katanya.
Leave a reply
