Dirut VKTR Teknologi Mobilitas: Bus dan Truk Listrik Juga Butuh Stimulus

0
378
Reporter: Maria Alexandra Fedho

Industri kendaraan listrik masih butuh banyak intervensi dari pemerintah untuk membangkitkan denyutnya. Direktur Utama PT. VKTR Teknologi Mobilitas, Gilarsi Wahju Setijono mengatakan bahwa market adoption atau adopsi pasar menjadi sebuah hal yang kritikal dalam hal industrialisasi Electric Vehicle (EV). Oleh karena itu, dibutuhkan intervensi untuk membuat orang-orang mau berinvestasi pada EV karena kalau tidak, pasarnya tidak akan berjalan.

Memang, pemerintah telah memberikan subsidi yang telah diberlakukan untuk sepeda motor, tapi untuk kendaraan bus dan truk juga harus mendapatkan perhatian. Demikian menurut Gilarsi.

Market untuk truk dan bus itu kalau kita gabungkan populasi, perbedaan bus di Indonesia tidak kurang dari 5 jutaan, ini sizeable market ini, 5 juta sama dengan populasinya Singapura lho itu. Nah jadi, menurut saya, kalau kita garap dengan serius maka ini akan menjadi satu potensi untuk orang berinvestasi ke Indonesia, domestik, investment maupun foreign investment itu akan bisa segera lari ke sini,” jelas Gilarsi dalam acara Strategis Mencapai Target Investasi 2023 dengan Mendorong Hilirisasi pada Rabu (29/03/2023).

Baca Juga :   Berkunjung ke Pabrik Hyundai, Menko Airlangga: Teknologi Elektrifikasi Jalan Menuju Net Zero Emission

Menurutnya, subsidi hanya diperlukan guna mengakselerasi market adoption saja dan tidak perlu selamanya karena lifetime cost-nya EV lebih murah.

Lifetime cost-nya antara EV dan commissions lifetime cost-nya EV itu lebih murah baik untuk pengusaha maupun konsumen pribadi, itu jatuhnya EV itu lifetime-nya lebih murah dibandingkan konvensional,” ucap Gilarsi.

Meskipun secara lifetime cost-nya murah, namun produk EV sangat mahal sehingga harus diperhatikan masalah pembiayaannya. Adapun selain pembiayaan, masalah teknologi baterai pun juga harus menjadi perhatian.

Ia menyontohkan bus Transjakarta dengan perjalanan sekitar 240 kilometer hanya sekali charger per hari, dan hal ini tidak menjadi permasalahan karena city bus. Namun yang menjadi permasalahan adalah ketika melakukan perjalanan antar provinsi.

“Maka ini akan menjadi masalah, bus yang rada laku keras itu adalah bus yang jalannya dari Jakarta ke Jawa Timur, paling tidak jaraknya 700 sampai 1.000 kilometer,” ungkapnya.

Gilarsi menyampaikan bahwa saat ini kebanyakan baterai yang digunakan adalah baterai Lithium Iron Ferro Phosphate (LFP) yang belum menggunakan nikel. Nantinya, apabila telah menggunakan nikel maka mungkin akan naik kapasitas kilometernya.

Baca Juga :   Bluebird Targetkan Penggunaan 500 Kendaraan Listrik di Tahun 2023

Ke depan, tentunya Indonesia akan mulai untuk mengadopsi teknologi baterai, dan nantinya ketika baterai berbasis nikel atau nikel, mangan, cobalt (NMC) ini sudah mulai ada hingga rata-rata sekali charger pada kisaran 1.000 kilometer, maka yang kemudian harus dipikirkan adalah infrastruktur charging-nya.

“Itu harus menjadi menjadi PR kita bersama untuk segera membangun, apakah ini sifatnya government investment atau private investment bisa saja terjadi. Tetapi sekali lagi ini ujungnya juga market, ada market-nya,” tambahnya.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics