DebtWatch-Trend Asia Nilai Pengembangan Proyek Gas Hambat Komitmen Indonesia soal Perjanjian Paris

0
35
Reporter: Rommy Yudhistira

Laporan DebtWatch dan Trend Asia mengungkap pengembangan proyek gas dapat menghambat Indonesia dalam memenuhi komitmen Perjanjian Paris atau Paris Agreement. Indonesia disebut memiliki cadangan gas yang besar dengan kebutuhan biaya pengembangan infrastruktur mencapai US$ 32,4 miliar.

Perwakilan dari DebtWatch Diana Gultom menuturkan, emisi dari penggunaan gas, khususnya metana, dapat merusak iklim, menghambat upaya Indonesia untuk transisi energi, dan mendorong ketergantungan pada bahan bakar fosil. Pembiayaan proyek gas yang melibatkan lembaga keuangan seperti Asian Development Bank, Asia Infrastructure International Bank, dan World Bank Group, mencerminkan ambiguitas terhadap pemenuhan komitmen iklim lembaga tersebut.

Pasalnya, kata Diana, para bank itu telah mengeluarkan kebijakan daftar pengecualian pendanaan untuk energi kotor, termasuk gas alam cair (LNG). “Kami melihat pendanaan LNG adalah bagian dari strategi global yang menunda transisi energi sejati dan mempertahankan kontrol korporasi terhadap sumber daya alam Indonesia. Dengan ekspansi LNG, Indonesia diarahkan untuk tetap menjadi eksportir gas bagi negara maju, bukan untuk memenuhi kebutuhan energi domestik,” kata Diana dalam keterangan resminya pada Jumat (14/3).

Baca Juga :   PAN dan Gerindra Siap Jalin Kerja Sama untuk Bangsa Serta Negara

Alih-alih mengurangi penggunaan energi fosil, kata Diana, pemerintah justru terus berencana mengembangkan infrastruktur gas. Pemerintah telah mencanangkan integrasi gas sebagai bagian dari transisi energi dalam program Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang penggunaannya dalam bauran energi primer akan terus meningkat hingga tahun 2060.

Menurut Diana, hal itu berpotensi mencekal upaya dekarbonisasi dan pengurangan emisi gas rumah kaca. Terlebih, emisi metana dari proses bahan bakar fosil berperan sekitar 30% atas naiknya temperatur global, sejak revolusi industri.

“Indonesia adalah negara yang kaya dengan potensi energi bersih dan terbarukan. Air, matahari, angin, laut, dan lain-lain adalah sumber yang tidak akan habis dijadikan sumber energi. Kita harus berani keluar dari skema pengadaan energi fosil dan berorientasi bisnis dan mega proyek semata. Pengelolaan energi yang berorientasi pada kebutuhan warga, dan kelestarian lingkungan hidup penting dan genting untuk dilakukan saat ini,” ujar Diana.

Sementara itu, Juru Kampanye Energi Fosil Trend Asia Novita menimpali, dalam laporan berjudul Investigasi LNG Indonesia, Jalan Mundur Komitmen Iklim mencatat 18 proyek gas yang tersebar di wilayah, Sumatra, Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Jika pemerintah masih membuka ruang untuk mengeksploitasi gas, maka bukan tidak mungkin pelepasan emisi akan semakin melonjak, hingga 1 dekade mendatang.

Baca Juga :   Unilever: Bisnis Inklusif Akan Berdampak Baik untuk Kita Semua

Novita menyebutkan, kebutuhan biaya besar untuk pengembangan infrastruktur gas, kerap diiringi dengan dampak buruk lainnya seperti korupsi, tidak tepatnya tata kelola dalam pembangunan proyek, sengketa geopolitik, pelanggaran hak asasi manusia di wilayah eksplorasi, dan pencemaran lingkungan.

“Dalam forum internasional pemerintah memoles citra dengan menyatakan akan mengurangi ketergantungan pada energi fosil, namun dalam kebijakan nasional pemerintah justru memasukkan gas dalam kerangka kebijakan transisi energi sebagai jembatan transisi yang akan membawa kita semakin jauh dari target pencapaian penurunan emisi,” kata Novita.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics