
CORE Perkirakan Ekonomi Indonesia Terkontraksi -2,5% di Kuartal III/2020

Ilustrasi/web
Center of Reform on Economics (CORE) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Kuartal III/2020 akan kembali terkontraksi sebesar -2,5%. Dengan demikian, jika pertumbuhan negatif dalam dua kuartal berturut-turut disebut sebagai resesi.
“Ini kontraksi dan secara teknis masuk resesi tapi sudah lebih baik,” kata Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal dalam acara webinar secara daring, Selasa (25/8).
Faisal mengatakan, meski secara teknis Indonesia akan jatuh ke dalam resesi, justru kondisi perekonomian Indonesia sedang membaik dari sisi trennya. Pada Kuartal II/2020 pertumbuhan Indonesia terkontraksi -5,32%.
“Yang perlu dipahami itu, meski minus tapi ternyata trennya membaik dibanding Kuartal II/2020, ini masih bagus. Ke depan yang perlu difokuskan ialah bagaimana resesi nggak terlalu dalam dan kita harapkan sustainable sampai Kuartal IV/2020,” kata Faisal.
Faisal mengingatkan kontraksi yang dialami perekonomian Indonesia di kuartal II dan III juga dialami banyak negara lain. Hanya beberapa negara seperti Tiongkok yang mampu menghindari kontraksi berturut-turut karena mereka bisa menangani Covid-19 sejak dini.
“Kita sudah lewat masanya dan pandemi sudah ada di depan. Jadi sekarang tinggal bagaimana stimulus dari pemerintah yang sudah ada dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN) atau belum ada di program PEN itu bisa diimplementasikan secara cepat,” kata Faisal.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020, kata Faisal, berkisar di angka minus 1,5% hingga 3%. Karena itu, pemerintah saat ini harus mementingkan masyarakat kalangan bawah yang sangat terdampak sehingga menurunkan daya beli masyarakat mereka.
Meski demikian, realisasi bansos yang sangat dibutuhkan saat ini masih lambat. Di samping kalangan bawah, Faisal menilai, UMKM juga mengalami masalah di mana berkontribusi sekitar 99% dari total pelaku usaha di Indonesia. Pemerintah pun telah menganggarkan sekitar Rp 123 triliun untuk dukungan bagi UMKM melalui program PEN, namun skema pembiayaan dan permodalan masih terbatas di sistem perbankan.
“Padahal 98% UMKM itu ada di sektor usaha mikro. Hanya 1% di sektor usaha kecil dan menengah, di mana mereka merupakan sektor yang bankable dan bisa menikmati stimulus sistem perbankan. Sisanya sebanyak 98% ini nggak bisa dipaksa dan untuk merambah usaha mikro dan ultra mikro yang tidak bankable, kalau dipaksa akan menambah risiko di perbankan,” kata Faisal.
Faisal karena itu mengusulkan stimulus untuk UMKM harus diperbaiki, di mana paling besar penerima manfaat harus dari sektor usaha mikro. Penyalurannya pun tidak perlu melalui perbankan karena bisa dilakukan dengan skema bansos.
“Ke depan, yang paling penting itu adalah bagaimana cara kita bangun fondasi ekonomi yang kuat. Karena nantinya ini bukan hanya untuk menghadapi krisis tapi juga ke depan termasuk menghadapi climate change dan permasalahan lainnya,” katanya.
Leave a reply
