CIPS Nilai PPN 12% Mampu Dorong Pertumbuhan Ekonomi Sesuai Target, tapi…

0
20
Reporter: Rommy Yudhistira

Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai peningkatan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk barang sangat mewah mampu mendorong pertumbuhan ekonomi sesuai target pemerintah. Negara butuh meningkatkan pendapatan meski sedang menghadapi ketidakpastian global.

Karena itu, kata Senior Fellow CIPS Krisna Gupta, peningkatan PPN dinilai bisa menjadi alternatif bagi Indonesia untuk tidak memilih utang, yang dianggap kurang populer secara makroekonomi. Itu sebabnya, pembatalan penerapan PPN 12% secara umum patut diapresiasi ketika daya beli masyarakat rendah, massive layoff di industri padat karya dan deflasi.

“Memang, negara yang memiliki target pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada umumnya justru melakukan ekspansi fiskal dengan memotong pajak, alih-alih meningkatkannya,” kata Krisna dalam keterangan resminya pada Sabtu (4/1).

Menurut Krisna, peningkatan tarif PPN telah menjadi isu lama sejak 2019. Kala itu, Kementerian Keuangan berencana memperbaiki kondisi fiskal, baik dari sisi penerimaan maupun pembiayaan lewat PPN.

Berdasarkan rilis Bank Dunia, kata Krisna, perbaikan penerimaan bisa dihasilkan dari sektor pajak seperti rasionalisasi keringanan pajak, mendorong pajak karbon, dan meningkatkan tarif PPN. Itu sebabnya, inisiasi kenaikan tarif PPN telah dilakukan sejak 2022 di mana pemerintah memberlakukan kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11%.

Baca Juga :   BNI Sekuritas Dukung Literasi dan Inklusi Keuangan, Ini Program yang Mereka Lakukan

Meski demikian, kata Krisna, kenaikan tarif PPN menjadi 11% tidak serta-merta mendorong penerimaan negara. Kenaikan tarif pajak secara teori memang berpotensi menekan pertumbuhan sehingga apabila aktivitas ekonomi menurun, hal itu tidak mempengaruhi penerimaan negara.

Selanjutnya, kata Krisna, penerimaan PPN yang tidak efisien juga akibat pengecualian untuk beberapa barang dan jasa. PPN pun hanya dikenakan untuk unit usaha milik golongan pengusaha kena pajak (PKP), yang kemungkinan tidak mendominasi pengusaha di Indonesia.

Di samping itu, ujar Krisna, semakin tinggi PPN yang berlaku, semakin tinggi pula insentif untuk menjadi pengusaha non-PKP.

“Mereka yang tergolong PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan barang kena pajak  dan/atau  penyerahan jasa kena pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN Tahun 1984 dan perubahannya. Pengusaha yang melakukan penyerahan objek pajak yang sesuai undang-undang PPN wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan menteri keuangan,” kata Krisna.

Karena itu, menurut Krisna, dengan menurunkan batasan dapat mendorong munculnya PKP dari kalangan pengusaha kecil. Namun, batasan itu perlu mempertimbangkan fenomena banyaknya UMKM yang memilih untuk membuka usaha lain, daripada harus meningkatkan usahanya untuk mencapai nilai tertentu.

Baca Juga :   Kemenaker Berupaya Percepat Penyaluran BSU kepada Buruh sebagai Bantalan Sosial

Krisna melanjutkan, jika tarif pajak meningkat, maka semakin sedikit alasan untuk terus menjadi PKP. Karena itu,ekstensifikasi untuk menambah jumlah PKP harus diutamakan, daripada melakukan intensifikasi lewat peningkatan tarif. Krisna juga menyarankan agar pemerintah mendorong ekstensifikasi penerimaan negara dengan meningkatkan kemudahan berusaha, mengurangi restriksi pasar, dan membangun ekosistem kewirausahaan.

“Mendorong semakin banyak usaha untuk menjadi usaha PKP harus menjadi prioritas. Peningkatan tarif PPN berarti melakukan penarikan pajak pada subjek pajak yang selama  ini sudah patuh membayar pajak,” ujarnya.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics