
BPOM Tanggapi 8 Temuan BPKN, BPOM Harapkan BKPN Seperti BPK dan Ombudsman

Tangkapan layar, BPOM umumkan hasil pengawasan pangan pada masa Natal 2022 dan Tahun Baru 2023
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Penny Lukito mengklaim telah bekerja dengan baik dalam penanganan kasus gagal ginjal akut anak. BPOM mengklaim telah melakukan tugasnya dengan baik sesuai dengan standar yang ada. Hal ini diungkapkan untuk menanggapi 8 temuan dari Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).
“Proses dengan BPKN itu kami sudah menjelaskan terkait dengan Badan POM kami sudah menjelaskan secara clear dalam suatu pertemuan, dan Badan POM sudah melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya sesuai standar berlaku,” kata Penny pada 26 Desember 2022.
Dalam penanganan kasus, Penny menjelaskan sudah menyampaikan secara transparan apa saja gap yang ada, sudah berproses dan sudah dilakukan perbaikan.
Penny juga menyoroti cara kerja BPKN yang seharusnya bisa mencontoh lembaga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Ombudsman dalam melakukan pemeriksaan. BPK dan Ombudsman meminta respons terlebih dahulu sebelum membuat kesimpulan.
Dalam hal pemeriksaan, Penny meminta agar BPKN menegakkan pemeriksaan yang fair atau adanya proses tranparansi, sehingga akan memunculkan sebuah solusi bersama.
“Tahapan-tahapan yang tentunya berproses di mana pemeriksa terperiksa juga ada proses transparansi atau proses respons, tanya jawab respons terhadap hasil pemeriksaan. Tahapan-tahapan itu saya kira para entitas pemeriksa itu punya tata cara yang berlaku fair,” kata Penny.
Kasus ginjal akut pada anak dipicu oleh kandungan zat kimia Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) dalam obat sirup anak-anak. Zat tersebut seharusnya tidak diperbolehkan sebagai bahan baku obat.
Sebelumnya, diketahui bahwa ada delapan temuan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BKPN). Yang pertama, ada ketidakharmonisan komunikasi dan koordinasi antara instansi di sektor kesehatan dan farmasi dalam penanganan lonjakan kasus gagal ginjal akut. Kedua, adanya kelalaian instansi atau otoritas dari sektor kefarmasian dalam pengawasan bahan baku obat dan peredaran produk obat.
Ketiga, ketidaktransparan terhadap penindakan oleh penegakan hukum terhadap industri farmasi. Keempat, tidak adanya protokol dalam penanganan kasus krisis terkait dengan persoalan darurat di sektor kesehatan seperti lonjakan kasus gagal akut yang terjadi. Kelima, belum adanya kompensasi yang diberikan kepada keluarga korban gagal ginjal akut dari pemerintah.
Keenam, belum adanya pemberian ganti rugi kepada korban gagal ginjal akut dari pihak industri farmasi. Ketujuh, bahan kimia etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) merupakan bahan yang termasuk dalam kategori berbahaya sehingga memerlukan ketentuan secara khusus. Terakhir, belum dilibatkannya instansi atau otoritas lembaga perlindungan konusmen dalam masalah sektor kesehatan dan kefarmasian.
Leave a reply
