
Inflasi Medis Masih Jadi Ancaman, OJK Terbitkan Surat Edaran Asuransi Kesehatan pada Mei 2025

Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono/Iconomics
Inflasi medis masih menjadi tantangan serius bagi ekosistem kesehatan di Indonesia, termasuk asuransi kesehatan.
Untuk itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bakal menerbitkan Surat Edaran (SE) terkait asuransi kesehatan.
Rencana penerbitan SE ini sebenarnya sudah disampaikan OJK sejak tahun lalu. Namun, Ogi Prastomiyono, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun, OJK, mengatakan pembahasan isi SE tersebut tertunda.
“Penerbitan Surat Edaran Asuransi Kesehatan itu pembahasannya cukup luas dan melibatkan seluruh stakeholder, sehingga kami sedikit menunda penerbitannya. Kemungkinan di bulan Mei kita baru terbitkan SE OJK- nya,” ujar Ogi dalam konferensi pers bulanan OJK, Jumat (11/4).
Ogi mengungkapkan, SE tersebut menjadi panduan bagi seluruh stakeholder di industri kesehatan, terkait dengan kriteria perusahaan asuransi yang dapat memasarkan asuransi kesehatan, pembentukan dewan penasihat medis atau fungsi medical advisory board, desain produk asuransi kesehatan, penerapan manajemen risiko, dan koordinasi penyelenggaraan jaminan kesehatan dengan BPJS kesehatan.
SE OJK ini, tambahnya “diharapkan akan memperbaiki” ekosistem asuransi kesehatan di Indonesia.
Ogi mengungkapkan pada 2023, rasio klaim asuransi kesehatan di Indonesia mencapai 97,5% dan pada 2024 71,2%.
“Namun, perlu dicatat, bahwa klaim rasio itu belum termasuk opex yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi yang besar 10-15%. Jadi, kalau kalau combined ratio-nya itu untuk tahun 2023 itu masih di atas 100%, kemudian 2024 sedikit di bawah 100%,” ujarnya.
Selama Januari-Februari 2025, ungkapannya, memang terjadi penurunan klaim rasio asuransi kesehatan.
Untuk asuransi jiwa baik konvensional maupun syariah sebesar 45,42% dan asuransi umum itu sebesar 34,70%.
“Tetapi perlu disadari ini baru dua bulan dan prosesnya itu bisa saja klaim-klaim itu belum disampaikan kepada perusahaan asuransi. Jadi, kita mesti memonitor jangka waktu yang lebih panjang untuk berapa sebenarnya klaim rasio yang wajar dan kemudian bagaimana perbaikan-perbaikan dari segi risk management dan governance dari perusahaan asuransi dan ekosistem industri kesehatan kita menjadi lebih baik,” ujarnya.
Penurunan klaim rasio tersebut, kata dia, juga terjadi karena perusahaan-perusahaan asuransi melakukan repricing terhadap premi yang dibebankan kepada pemegang polis.
Repricing itu, jelasnya, dilakukan karena inflasi medis di Indonesia terbilang tinggi yaitu 10,1% pada 2024, jauh di atas rata-rata inflasi umum yang berada di kisaran 3%.
Peningkatan inflasi medis, tambah dia, menang juga terjadi di seluruh dunia, dengan rata-rata 6,5%.
“Ini menjadi pekerjaan rumah bersama untuk kita melakukan perbaikan-perbaikan untuk ekosistem kesehatan di Indonesia,” ujarnya.
Leave a reply
