
Pemerintah Salah Langkah, Industri Hasil Tembakau Bisa Berdarah-darah

Diskusi publik Indef yang mengangkat tema "Industri Tembakau Suram, Penerimaan Negara Muram"/Dok. Iconomics
Pemerintah diminta harus bersikap hati-hati dalam mengambil kebijakan yang dapat berdampak negatif bagi industri dan perekonomian nasional, terutama di tengah penurunan daya beli masyarakat kelas menengah dan indeks Purchasing Managers Index (PMI) yang mengalami kontraksi hingga berada di bawah 50%.
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) melakukan kajian mengenai potensi dampak dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permmenkes) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik sebagai pelaksanaan amanat PP 28/2024. Kebijakan tersebut memuat di antaranya rencana aturan tentang kemasan rokok polos tanpa merek, larangan penjualan dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, hingga pembatasan iklan.
Dalam diskusi publik “Industri Tembakau Suram, Penerimaan Negara Muram”, Ekonom Senior INDEF, Tauhid Ahmad, menjelaskan bahwa Indonesia memiliki rantai tembakau yang kompleks dan berbeda dari negara lain yang telah meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), di mana mayoritas negara tersebut bukan merupakan negara penghasil tembakau maupun produk hasil tembakau serta memiliki kontribusi pajak rokok yang relatif rendah terhadap penerimaan negara.
Tauhid juga menyoroti aturan kemasan rokok polos tanpa merek dapat mendorong downtrading hingga switching dari rokok legal ke rokok ilegal secara lebih cepat sehingga dapat menurunkan permintaan produk legal sebesar 42,09%.
Bagaimana di Indonesia?
Dari ketiga variabel dalam regulasi yang disorot, INDEF melakukan simulasi dan mengukur potensi dampaknya terhadap ekonomi dan penerimaan perpajakan. Untuk pemberlakukan kemasan rokok polos tanpa merek, INDEF menilai kebijakan ini juga akan mendorong hilangnya potensi ekonomi sebesar Rp182,2 triliun serta penurunan penerimaan pajak sebesar Rp95,6 triliun.
“Dampak ekonominya apa dengan kemasan polos? Tentu saja ini bukan hanya pada industri rokok, tapi juga industri kemasan untuk kertas, kemudian tembakau, cengkih, termasuk lainnya juga akan terdampak. Jadi luar biasa besar,” ujar Tauhid.
Dia juga membeberkan dampak dari larangan penjualan dalam radius 200 meter pada penerimaan negara dan dampak ekonomi. Menurut Tauhid, potensi dampak dari kebijakan tersebut akan menghilangkan potensi dampak ekonomi sebesar Rp84 triliun dan menurunkan penerimaan perpajakan hingga Rp43,5 triliun.
Adapun adanya pelarangan iklan rokok, Tauhid mengatakan INDEF menghitung adanya penurunan permintaan jasa iklan hingga 15%. Kebijakan tersebut akan berpotensi menurunkan pendapatan pajak sebesar Rp21,5 triliun dan potensi ekonomi yang hilang sebesar Rp41,8 triliun.
“Jadi berat kalau misalnya secara agregat kita ingin tumbuh di atas 5%, tapi kita sudah berkurang total hampir Rp308 triliun (potensi ekonomi yang hilang),” ujarnya.
Menurut Tauhid, jika tiga skenario kebijakan itu dijalankan maka potensi ekonomi yang akan hilang sebesar Rp308 triliun atau setara dengan 1,5% Produk Domestik Bruto (PDB). Adapun potensi penerimaan pajak yang bakal hilang sebesar Rp160,6 triliun atau setara dengan 7% dari total penerimaan pajak negara. Oleh karena itu, ia menegaskan perlambatan ekonomi masih akan terjadi di tahun depan, kalau Rancangan Permenkes diberlakukan maka industri tembakau dan sektor terkait akan mati secara perlahan.
Tak hanya potensi ekonomi dan pendapatan pajak yang bakal tergerus. Ia menjelaskan bila tiga skema kebijakan itu dijalankan maka akan berdampak kepada sekitar 2,3 juta tenaga kerja di sektor industri hasil tembakau dan produk turunannya atau 1,6% dari total penduduk bekerja.
“Kami melakukan simulasi, kami tidak mengatakan ini akan pasti. Kalau omzet turun, perusahaan mau tidak mau akan melakukan penyesuaian. Apakah modelnya penurunan upah, pengaturan jam kerja, penurunan status, ataupun PHK. Itu pasti kemungkinan yang bisa saja terjadi,” ujarnya.
Oleh karena itu, Tauhid mengungkapkan INDEF menyodorkan tiga rekomendasi dengan dasar studi kuantitatif kepada pemerintah. Pertama, Tauhid mengungkapkan, INDEF merekomendasikan pemerintah untuk melakukan revisi PP Nomor 28 Tahun 2024 dan membatalkan Rancangan Permenkes, khususnya pada pasal-pasal yang dinilai akan memberikan dampak terhadap penerimaan dan perekonomian negara.
Kedua, mendorong dialog antar kementerian/lembaga yang berkepentingan dengan industri ini, seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Pertanian.
Ketiga, jika diberlakukan, maka pemerintah perlu mencari sumber alternatif penerimaan negara yang hilang serta menyiapkan lapangan pekerjaan baru bagi tenaga kerja yang terdampak.
Reaksi Pelaku Usaha
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo), Roy N. Mandey, membawa aspirasi dari para pelaku usaha. Roy menilai Rancangan Permenkes yang hendak dikeluarkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tidak memiliki korelasi yang jelas dengan tugas dan fungsi Kemenkes.
Roy mempermasalahkan intensi Kemenkes yang ikut mengatur masalah industri dan perdagangan. Menurut Roy, Kemenkes dapat lebih fokus untuk mengatur masalah kesehatan, daripada harus mengurusi kebijakan yang di luar bidangnya.
“Kami mencermati di sini, kurang atau tidak fokusnya satu kementerian yang sifatnya justru mendompleng urusan-urusan yang bukan ranahnya,” ucapnya.
Selain itu, Roy mengatakan Aprindo turut melihat adanya ambiguitas dalam PP 28/2024. PP tersebut dinilai memiliki tafsir yang beragam, khususnya yang berkaitan dengan larangan berjualan rokok 200 meter dari sarana pendidikan dan tempat bermain anak.
“Kenapa dikatakan ambigu, karena multitafsir, kemudian siapa yang akan menjadi pelaksana untuk melakukan pengukuran yang 200 meter itu,” ucapnya.
Ia menjelaskan penerbitan PP 28/2024 tidak disosialisasikan kepada para pelaku usaha. Menurut Roy, pelaku usaha menjadi ujung tombak pelaksanaan PP tersebut, sehingga pengusaha memiliki peran penting. Terlebih mereka juga berhubungan langsung dengan konsumen.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, mengatakan pihaknya menemukan beberapa keanehan dalam PP 28/2024/ Ia menyebutkan pihaknya berharap pemerintah bisa berlaku adil terhadap para pelaku usaha.
“Kami TKDN (tingkat kandungan dalam negeri), bahan baku lokal, tenaga kerja dan distribusi 97% adalah lokal. Jadi kami perlu ada semacam proteksi, khususnya bagi industri kretek,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi, mengatakan bahwa sebagai pelaku usaha pihaknya tidak pernah dilibatkan secara langsung dalam pembahasan regulasi. Penerbitan peraturan itu terkesan tidak transparan, terburu-buru, dan menimbulkan berbagai macam pertanyaan.
“Mungkin dari PP ini secara legal formalnya sendiri masih harus dipersoalkan. Karena dalam legal formal ada amanat Presiden yang ditandatangani oleh Mensesneg. Pembahasan itu harus selesai 31 Desember 2023, tapi 2024 ini masih ada pembahasan, sampai bulan April masih ada pembahasan,” ucapnya.
Tidak hanya itu, Benny menyebutkan, draft Rancangan Permenkes yang ada saat ini cenderung mengatur kewenangan yang bukan berada di ranah Menteri Kesehatan. Sehingga, secara umum, Rancangan Permenkes tersebut dinilai perlu dipertimbangkan dan ditinjau kembali.
Untuk merespons masalah tersebut, Benny menuturkan pihaknya akan mempersiapkan langkah-langkah hukum melalui judicial review di Mahkamah Agung bila Rancangan Permenkes diterbitkan oleh pemerintah.
Hal senada juga disampaikan Sekretaris Jenderal Asosiasi personal Vaporizer Indonesia (APVI), Garindra Kartasasmita. Ia berharap pemerintahan baru yang dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tidak melanjutkan Rancangan Permenkes tersebut.
Garin memastikan pihaknya akan mendukung seluruh upaya-upaya yang dilakukan oleh asosiasi untuk meninjau kembali peraturan tersebut. Ia menyebutkan pihaknya hanya membutuhkan keadilan yang akan memberikan dampak posisif bagi industri dan konsumen. (*)
Leave a reply
