Agustus 2024 Kembali Terjadi Deflasi, Permintaan Konsumen yang Melemah atau Suplai Berlimpah?

0
52

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pada Agustus 2024 kembali terjadi deflasi, meski Pertamina pada bulan yang sama meaikkan harga bahan bakar minyak non subsidi.

Keniakan harga BBM memang mengerek inflasi barang yang diatur pemerintah, tetapi secara keseluruhan pada Agustus terjadi deflasi atau penurunan harga, terutama pada komponen harga bergejolak.

Pudji Ismartini, Deputi Bidang Statistik Distribusi BPS, dalam konferensi pers bulanan di Jakarta, 2 September, menyampaikan pada Agustus 2024, terjadi deflasi sebesar 0,03% secara bulanan atau terjadi penurunan indeks harga konsumen dari 106,09 pada Juli 2024 menjadi 106,06 pada Agustus 2024.

Secara tahunan atau year on year terjadi inflasi sebesar 2,12% dan secara tahun kalender atau year to date terjadi inflasi sebesar 0,87%.

“Deflasi bulan Agustus 2024 ini lebih rendah dibandingkan Juli 2024 dan merupakan deflasi ke-4 pada tahun 2024,” ujar Pudji.

Sebelumnya pada Mei hingga Juli terjadi deflasi, masing-masing sebesar 0,03%; 0,08%; dan 0,18%.

Pudji meyampaikan, deflasi pada Agustus 2024 sebesar 0,03% didorong oleh deflasi koponen harga bergejolak. Komponen harga bergejolak mengalami deflasi sebesar 1,24%. Komponen ini memberikan andil deflasi sebesar 0,20%. 

Komoditas yang dominan memberikan andil deflasi pada komponen harga bergejolak ini adalah bawang merah, daging ayam ras, tomat dan telur ayam ras dengan andil deflasi masing-masing sebesar 0,08%, 0,03%, 0,03% dan 0,02%.

Baca Juga :   Harga Tomat dan Bawang Merah Melambung Tinggi, Inflasi November 2024 Sebesar 0,3%

Dua komponen harga yang lainnya yaitu komponen inti dan komponen harga yang diatur pemerintah, tetap mengalami inflasi selama Agustus 2024.

Komponen inti, mengalami inflasi sebesar 0,20%. Komponen ini memberikan andil inflasi sebesar 0,13% dan komoditas yang dominan memberikan andil inflasi untuk komponen ini adalah kopi bubuk, emas perhiasan, biaya sekolah dasar, biaya kuliah akademi/perguruan tinggi dan biaya sekolah menengah pertama.

Komponen harga yang diatur pemerintah mengalami inflasi sebesar 0,23% dengan andil inflasi sebesar 0,04%. Komoditas dominan yang memberikan andil inflasi untuk komponen ini adalah kenaikan harga bensin [BBM] dan rokok sigaret kretek mesin (SKM).

Permintaan yang melemah atau pasokan yang melimpah?

Deflasi yang terjadi dalam beberapa bulan berturut-turut ini ditengarai terjadi karena adanya penurunan daya beli masyarakat. Dugaan ini antara lain didukung oleh indeks keyakinan konsumen (IKK) serta Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK), yang mencerminkan daya beli, mengalami penurunan sejak April, meski ada sedikit kenaikan pada Juli.

Menurut publikasi Bank Indonesia, IKK pada Juli 2024 – sebagai publikasi terakhir – sebesar 123,4 naik satu basis poin dari 123,3 pada Juni, tetapi masih lebih rendah dibandingkan Mei dan April yang masing-masing sebesar 125,2 dan 127,7.

Baca Juga :   BPS: Setelah Deflasi 3 Bulan Berturut-Turut, Oktober 2020 Terjadi Inflasi 0,07%

IKE dan IEK pada Juli 2024 masing-masings sebesar 113,5 dan 133,3. Sementara pada pada Juni 2024, IKE dan IEK masing-masing sebesar 112,9 dan 133,8.

Sebelumnya pada Mei 2024, IKE dan IEK masing-masing sebesar 115,4 dan 135,0 dan pada April 2024, IKE dan IEK masing-masing sebesar 119,4  dan 136,0.

Bila merunut ke belakang, deflasi yang terjadi dalam beberapa bulan berturut-turut bukan baru pertama kali terjadi pada 2024 ini. Fenomena yang sama juga sudah pernah terjadi sebelumnya, dan BPS mengakui pada fenomena yang sama sebelumnnya deflasi terjadi karena penurunan daya beli.

Pada 1999, setelah krisis finansial Asia, kata Pudji, Indonesia mengalami deflasi tujuh bulan berturut-turut yaitu selama Maret 1999 hingga September 1999. 

“Ini sebagai akibat dari depresiasi nilai tukar dan penurunan harga beberapa jenis barang,” kata Pudji.

Kemudian pada Desember 2008 dan Januari 2009 juga terjadi deflasi. Deflasi selama krisis finansial global ini, jelas Pudji, terjadi karena penurunan harga minyak dunia dan karena permintaan domestik yang melemah.

Pada 2020 juga terjadi deflasi tiga bulan berturut-turut yaitu Juli-September 2020.  Deflasi pada periode ini, jelas Pudji, terjadi karena empat kelompok pengeluaran mengalami deflasi yaitu makanan, miniman dan tembakau; pakaian dan alas kaki; transportasi; serta informasi, komunikasi dan jasa keuangan. 

Baca Juga :   Durian Runtuh Kenaikan Harga Komoditas Berakhir, Ekspor Indonesia Juli 2023 Menurun 18,03 Persen YoY

Deflasi pada empat kelompok pengeluaran ini, jelas dia, “mengindikasikan penurunan daya beli di tahun 2020 pada periode awal pandemi Covid-19.”

Deflasi beruntun pada Mei-Agustus 2024, menurut Pudji, bukan karena penurunan dari sisi permintaan (demand side) yang menginidkasikan terjadinya penurunan daya beli.

Tetapi, menurutnya, terjadi karena sisi penawaran (supply side) yang memadai, sehingga mendorong terjadinya penurunn harga.

“Andil deflasi (2024) disumbang karena penurunan harga pangan seperti produk tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan karena biaya produksinya yang turun sehingga harga di tingkat konsumen juga ikut turun. Ini juga seiring dengan adanya panen raya sehingga pasokannya berlimpah dan akibatnya harganya ikut turun,” ujar Pudji.

“Saya sampaikan kembali bahwa fenomena deflasi empat bulan ini lebih ditunjukkan dari sisi supply dimana panen beberapa komoditas pangan dan hortikultura dan juga turunnya biaya produksi seperti harga livebird (ayam hidup) dan jagung pipilan untuk bahan pakan ternak. Hal ini mendorong deflasi komoditas telur ayam ras dan juga daging ayam ras.  Ini artinya, deflasi masih terjadi di sisi penawaran,” tambahnya.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics