
Skandal di Kemenkeu karena Kekuasaan Besar dan Revolusi Mental yang Belum Berjalan

Peneliti senior AEPI Salamuddin Daeng/Dokumentasi pribadi
Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI) menilai dugaan pencucian uang yang dilakukan mantan pegawai Direktorat Jenderal Perpajakan (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Rafael Alun Trisambodo terkait dengan kewenangan besar yang merupakan amanat dari undang-undang (UU). Karena itu, bisa dibilang DPR ikut berperan dalam kasus ini terkait kewenangan tersebut.
“Sebetulnya ini ada salah DPR juga pada saat mulai dari UU Tax Amnesty. Itu berarti pada saat UU itu disahkan, memberikan kewenangan yang luar biasa besar kepada satu institusi yang namanya Kemenkeu,” kata peneliti AEPI Salamudin Daeng di Kompleks Parlemen beberapa waktu lalu.
Salamudin mengatakan, bila dicermati isi UU Tax Amnesty tersebut secara tidak langsung melegalkan praktik tindak pidana pencucian uang (TPPU). Pasalnya, UU tersebut tidak mempersoalkan asal uang yang masuk ke Indonesia, selama membayar denda sehingga uang itu dinilai bersih.
“Bayangkan saja itu program tax amnesty. Bayangkan itu pernyataan pencucian uang. Uang semua ada asal-usulnya tidak bisa sembarangan,” ujar Salamudin.
Di samping tax amnesty, lanjut Salamudin, DPR kembali mengesahkan UU Nomor 2 Tahun 2020 mengenai pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Darurat Covid-19. Di situ Kemenkeu diberikan kewenangan untuk menggunakan APBN tanpa persetujuan DPR terhadap hal-hal yang dinilai memiliki keadaan darurat.
Begitu pula dengan UU Pengembangan dan Penguatan Sistem Keuangan (PPSK), kata Salamudin, yang dinilai kembali memberikan kewenangan kepada menteri keuangan memimpin seluruh institusi keuangan seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan lainnya.
“Dia (menkeu) sebagai ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Dengan UU yang baru semua akan powerfull dia (menteri keuangan),” ujar Salamudin.
Sementara itu, anggota Komisi XI Kamrussamad mengatakan, pihaknya telah mengambil langkah perbaikan melalui revisi UU perpajakan yang disahkan menjadi UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Persoalan yang terjadi di lingkungan Kemenkeu dinilai tidak semata-mata karena kekuasaan penuh yang menjadi amanat dari UU.
Menurut Kamrussamad, masalah revolusi mental di kalangan pegawai menjadi persoalan prioritas yang perlu dibenahi semua pihak. “Hari ini prioritas revolusi mental yang tidak jalan di perpajakan. Jadi itu yang prioritas menurut saya. Kalau revisi kita lihat nanti kecenderungannya karena baru setahun HPP disahkan,” ujar Kamrussamad.
Berdasarkan itu, kata Kamrussamad, pihaknya mendorong Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperbaiki budaya di lingkungan Kemenkeu, sehingga dapat membawa perubahan positif. Apalagi revolusi mental dinilai belum terlaksana dengan baik di Ditjen Pajak.
“Jadi 45 ribu pegawai ini juga mesti dijelaskan mana yang betul-betul sudah mengikuti semangat perubahan dari segi culture. Karena ini yang benar-benar mengecewakan dari wajib pajak,” tutur Kamrussamad.
Leave a reply
