
Seperti Batubara, Emiten Rokok Masih Cukup Menarik di Tengah Tren Pembatasan dari Pemerintah

Ilustrasi
Industri rokok terus-menerus ditekan dengan kenaikan tarif cukai dari pemerintah. Lantas masih menarikkah saham emiten rokok untuk dikoleksi?
Bayu Santoso, Investment Analyst Stockbit Sekuritas dalam acara Unboxing Sektor Rokok, Rabu (14/12) malam mengatakan rokok ini kurang lebih sama dengan batubara. Meski saat ini tren green energy melalui Energi Baru dan Terbarukan (EBT) terus digaungkan pemerintah, tetapi tidak serta-merta batubara ditinggalkan begitu saja. Harga batubara pun masih melambung tinggi dan saham emiten batubara pun masih cukup menarik.
“Menurut saya bisa saja emiten rokok itu mirip-mirip kayak gitu. Jadi, di satu sisi mungkin bisa dibilang kurang menarik karena dari sisi kebijakan pemerintah cenderung ditekan terus,” ujar Bayu.
Tetapi ada dua hal yang membuat emiten rokok tetap menarik, menurut Bayu. Pertama, rokok adalah produk yang konsumsinya cukup kuat. Berhenti merokok itu cenderung sulit. “Mirip kayak batubara tadi, tidak serta merta orang bisa langsung ninggalin batubara karena sudah ada EBT,” ujarnya.
Di Indonesia sendiri, papar Bayu, dalam lima tahun terakhir, yaitu 2017 hingga 2021, volume penjualan rokok memang cenderung turun sekitar 0,9% (CAGR). Tetapi tahun 2021 penjualan rokok kembali naik 7,2% dari 276,2 miliar batang menjadi 296,2 miliar batang. Hingga September 2022, volume penjualan rokok di Indonesia mencapai 234,8 miliar batang, naik 8% dibanding 217,4 miliar batang.
Kenaiakan volume penjualan rokok ini terjadi di tengah pemerintah terus menaikan tarif cukai rokok. Tahun 2020, rata-rata kenaikan cukai rokok sebesar 23%. Sementara tahun 2021 dan 2022 masing-masing sebesar 12,5% dan 12%.
Di sisi lain, jumlah perokok di Indonesia mencapai 68,9 juta pada tahun 2021, dengan tingkat prevalensi merokok penduduk usia lebih dari 15 tahun sebesar 33,5%. Meski prevalensi merokok ini menurun dari 34,8% di tahun 2011, tetapi prevalensi merokok di Indonesia ini merupakan yang tertinggi di dunia.
Rata-rata pengeluaran untuk konsumsi rokok keretek penduduk Indonesia pada tahun 2021 mencapai Rp382 ribu per bulan. Pengeluaran untuk konsumsi rokok berkontribusi 11,6% hingga 12,2% terhadap garis kemiskinan per Maret 2022, terbesar kedua setelah beras.
Selain data-data yang mencerminkan prospek industri rokok ini, hal kedua yang membuat emiten rokok memiliki prospek menarik adalah kenaikan tarif cukai yang sudah mencapai titik jenuh. Kenaikan tarif cukai rokok mungkin sedikit berhasil mengendalikan konsumsi rokok, tetapi ada ancaman dari sisi optimalisasi penerimaan negara. Karena, kenaikan cukai rokok menyebabkan jumlah produsen rokok terus berkurang.
“Makanya, bisa berbahaya juga untuk penerimaan cukai kedepan. Makanya bisa saja dari segi kenaikan tarif itu ada skema lain, enggak semata-mata dinaikkan terus. Bagaimana caranya supaya penerimaan negara dari cukai tidak berdampak? Soalnya, bila cukainya dinaikkan terus, jumlah industri rokoknya yang terdampak, justru baliknya nanti ke penerimaan cukai kurang optimal,” ujar Bayu.
Bayu mengatakan cukai rokok menyumbang rata-rata 9,4% dari total pendapatan negara selama tahun 2019-2021. Nilai penerimaan cukai rokok terus naik bahkan saat pandemi.
Sebagai informasi, dalam struktur harga sebatang rokok, cukai menyumbang lebih dari 50%. Untuk SKM Tier I, misalnya, porsi cukai pada harga satu batang mencapai 51,7%. Sementara SKM Tier II mencapai 52,6%.
Leave a reply
