
Inflasi Indonesia Masih Terkendali, Bank Indonesia Pertahankan Suku Bunga Rendah

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) pada Rabu (22/6) dan Kamis (23/6) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga kebijakan BI tetap pada level terendahnya, di tengah tren kenaikan suku bunga berbagai negara maju. Bank Indonesia menilai inflasi Indonesia masih terkendali, apalagi pemerintah sudah menaikkan anggaran subsidi dan kompensasi energi pada tahun ini sehingga harga energi tidak dinaikkan.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menyatakan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) tetap dipertahankan pada level 3,50%. Demikian juga, suku bunga Deposit Facility tetap sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%.
Tingkat bunga kebijakan BI ini berada pada level tersebut sejak Februari 2021 lalu dan merupakan level terendah sepanjang sejarah.
“Keputusan ini sejalan dengan perlunya pengendalian inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar serta tetap mendukung pertumbuhan ekonomi di tengah naiknya tekanan eksternal terkait dengan meningkatnya risiko stagflasi di berbagai negara,” ujar Perry dalam konferensi pers secara daring, Kamis (23/6).
Perry menambahkan, kedepan ketikdapastian ekonomi global diperkirakan masih akan tinggi seiring dengan makin mengemukanya risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan inflasi global, termasuk sebagai akibat dari makin meluasnya kebijakan proteksionisme terutama pangan yang ditempuh oleh berbagai negara.
Perry mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini diperkirakan berada di level 3%, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yaitu 3,4%. Pada saat yang sama inflasi tinggi terjadi di berbagai negara akibat kenaikan harga komoditas dan gangguan rantai pasok.
Perry menjelaskan inflasi tinggi dan pertumbuhan ekonomi global yang rendah terjadi karena tiga faktor. Pertama, faktor gepolitik Rusia dan Ukraina termasuk sanksi-sanksi ekonomi yang menyertainya, yang menyebabkan terjadinya gangguan pasokan energi dan pangan sehingga harganya melonjak. Bank Indonesia memperkirakan rata-rata harga minyak tahun sebesar US$103 per barel.
Faktor kedua, pengetatan kebijakan moneter di Amerika Serikat dan di berbagai negara maju. Kenaikan suku bunga ini akan menurunkan permintaan dan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Bank Indonesia memperkirakan suku bunga Fed Fund Rate yang pada bulan lalu naik 0,75 basis poin, diperkirkan pada akhir tahun ini akan bertengger di level 3,5%, lebih tinggi dari proyeksi BI sebelumnya yaitu 3,25%. Tahun 2023, BI memperkirakan Fed Fund Rate akan kembali naik sebesar 50 basis poin sehingga menjadi 4%.
Faktor ketiga, kenaikan kasus Covid-19 dan kebijakan zero Covid di Tiongkok yang menyebabkan perlambatan ekonomi di negara dengan perekonomian terbesar kedua dunia tersebut.
Ketiga faktor tersebut menyebabkan pertumbuhan ekonomi global melambat ke hanya 3% dari proyeksi sebelumnya 3,4% pada tahun 2022. Tetapi, Perry mengatakan tahun 2023, ekonomi global diperkirakan kembali pulih ke level 3,3%.
Di dalam negeri, untuk menghadapi risiko stagflasi yang terjadi secara global ini, Perry mengatakan perlu ada upaya bersama untuk menjaga stabilitas harga dan mengendalikan inflasi dengan tetap mendorong pertumbuhan ekonomi. “Di sinilah koordinasi fiskal dan moneter menjadi sangat penting,” ujar Perry.
Dari segi kebijakan fiskal, setelah mendapatkan persetujuan DPR, pemerintah telah menaikkan anggaran subsidi dan kompensasi energi dan juga meningkatkan anggara bantuan sosial. Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan juga telah menandatangani surat keputusan bersama yang ketiga, dimana Bank Indonesia membeli SBN dari pasar perdana sebesar Rp224 triliun untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional.
Dengan kenaikan anggaran subsidi energi tersebut, menurut Perry, inflasi di Indonesia memang akan naik, tetapi masih terkendali. Bank Indonesia memperkirakan inflasi konsumen pada tahun ini diperkirakan sebesar 4,2%, sedikit di atas batas sasaran yaitu 2% hinga 4%. “Inflasi 4,2% ini masih kita golongkan sebagai terkendali, dibandingkan negara-negara lain yang inflasinya sangat tinggi,” ujar Perry.
Karena itu, Perry mengatakan kebijakan moneter Bank Indonesia diarahkan pada stabilitas. Sementara kebijakan makroprudensial, sistem pembayaran, pendalaman pasar keuangan, UMKM, dan ekonomi keuangan syariah diarahkan untuk pro pertumbuhan.
Bank Indonesia masih memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini tetap pada level 4,5% sampai 5,3%. Pertumbuhan ini bersumber dari peningkatan konsumsi masyarakat dan ekspor.
Normalisasi kebijakan moneter Bank Indonesia dilakukan dengan mempercepat kenaikan Giro Wajib Minimum (GMW) menjadi 6% pada Juni 2022, 7% pada Juli dan 9% pada September 2022. Kebijakan menaikkan GWM ini dilakukan dengan tetap memastikan kecukupan likuiditas di perbankan dalam menyalurkan kredit dan pembiayaan sektor riil.
Untuk kebijakan makroprudensial, Bank Indonesia memberikan insntif bagi bank-bank yang menyalurkan kredit kepada sektor prioritas. Menurut Perry, kebijakan ini efektif mendorong perbankan menyalurkan kredit yang ditunjukkan dengan meningkatnya pertumbuhan kredit yaitu 9,3% pada Mei. Bahkan kredit ke sektor UMKM tumbuh lebih tinggi yaitu 16,97%.
Leave a reply
