
3 Langkah Industri Ritel Hadapi Era Digital

Ketua Umum Aprindo Roy N. Mandey/The Iconomics
Revolusi industri 4.0 mengubah hampir sebagian besar kehidupan manusia. Perkembangan era digital secara pesat menggeser gaya hidup masyarakat dari konvensional ke arah yang lebih terukur: sistem online.
Perilaku belanja konsumen cenderung tertarik pada hal-hal yang lebih praktis, nyaman ketimbang berbelanja ke toko retail tradisional. Perubahan ini sesungguhnya memudahkan pelaku usaha untuk mengembangkan bisnisnya terutama untuk membuat strategi berinovasi.
Berkembangnya pasar digital itu membuat pertumbuhan industri ritel hanya tumbuh satu digit dalam beberapa tahun terakhir. Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo) mencatat pertumbuhan retail hanya di kisaran 8% hingga 9%. Sebelumnya, pertumbuhan selalu berada di angka dua digit.
Aprindo menganggap penurunan itu karena perubahan perilaku belanja konsumen yang kini terdigitalisasi. Untuk mengetahui hal itu lebih mendalam wartawan The Iconomics Ahmad Faisal mewawancarai Ketua Umum Aprindo Roy N. Mandey. Berikut wawancaranya:
Bisa diceritakan apa fokus Aprindo dalam menghadapi dunia ritel yang kini juga terkena dampak era digital ini?
Kita melihat perubahan pola belanja konsumen pada era kemajuan teknologi saat ini. Karena itu, kami memiliki strategi anomali yakni perubahan bentuk dari ritel pada umumnya. Nantinya, para pelaku ritel membangun sebuah hyper market yang di dalamnya bukan hanya tempat berbelanja, akan tetapi juga terdapat kafe dan tempat bermain sehingga dapat menciptakan customers experience yang baik.
Selain itu, kami juga sangat concern untuk mendorong para pelaku ritel dalam mengadopsi teknologi digital dan sudah saatnya untuk bertransformasi ke arah tersebut. Tentu untuk penggunaan teknologi digital ini nantinya kami serahkan untuk disesuaikan dengan tiap-tiap perusahaannya. Intinya hal ini dilakukan untuk menyikapi perubahan perilaku belanja konsumen di era digital yang terdisrupsi saat ini. Dan salah satu perusahaan yang sudah menerapkan teknologi digital adalah FamilyMart.
Kini muncul tren Online to Offline (O2O), tren sistem pembayarannyanya, apa peluang yang bisa dimanfaatkan peritel dari sana?
Kami menyadari betul tren tersebut mempengaruhi pola belanja konsumen, sebab industri online menawarkan kemudahan dalam berbelanja dan juga transaksinya. Namun, saat berbelanja online kita tidak terlalu merasakan kepuasan dalam berbelanja. Semisal, ketika kita membeli baju secara online kita tidak tahu apakah ukurannya sudah sesuai sama kita atau modelnya pantas untuk kita pakai, itu kita tidak bisa leluasa untuk memilihnya.
Karena itulah, kami mendorong para pelaku usaha offline untuk mengadopsi teknologi digital yang banyak diterapkan pada toko online, namun tidak meninggalkan esensi kepuasan belanja di toko offline yang cenderung memuaskan.
Soal resesi ekonomi, apa dampaknya terhadap sektor ritel di Indonesia?
Untuk masalah resesi ekonomi saat ini kondisi ritel tidak terlalu berdampak besar, walau masalah utama yang kita perhatikan adalah perubahan pola perilaku belanja konsumen yang cenderung memilih berbelanja online dibanding datang ke toko offline.
Soal perang dagang (AS versus Tiongkok) yang tak selesai, apakah juga berdampak terhadap industri ritel kita?
Kalau soal perang dagang, dari ritel sendiri pun kami tidak merasakan dampak apapun, namun saya berpendapat bahwa seharusnya pemerintah mampu melihat peluang apa yang dapat dimanfaatkan dari fenomena tersebut. Tapi, saya tertarik dengan apa yang dilakukan Tiongkok dalam mengekspansi produk-produk mereka ke Asia Tenggara sehingga kami berharap pemerintah dapat memberikan subsidi terhadap produk-produk dalam negeri agar mampu bersaing juga di pasar global.
Tentang insentif, apakah ada pembicaraan dengan pemerintah dan bagaimana perkembangannya?
Sekitar 3 tahun lalu kami sudah melakukan pertemuan dengan pemerintah mengenai berbagai persoalan yang harus diselesaikan dan dilakukan, namun sampai saat ini belum ada regulasi atau eksekusi apapun dari pemerintah. Karena itu, langkah kita untuk bergerak memajukan industri ritel ini sering terhambat dengan masalah tersebut.
Sedangkan, perkembangan industri teknologi digital sekarang menuntut kita untuk bergerak cepat. Nah, selain itu kami berharap pemerintah mampu mempertegas standar peraturan dagang antara online dan offline. Sebab kami sebagai pelaku pedagang offline selalu mengikuti berbagai macam persyaratan dan ketentuan dalam menjual produk, dari keaslian, kualitas, sertifikasi SNI dan BPOM, sedangkan pada pedagang online tidak semua memenuhi persyaratan yang dibuat oleh pemerintah. Dengan demikian, diharapkan pedagang offline dan online berada di level yang sama, sehingga konsumen bisa mendapatkan barang-barang yang berkualitas sesuai standar yang ada.
Proyeksi pertumbuhan ritel tahun depan bagaimana?
Untuk hal ini kami membagi 3 bagian, pertama, bagi yang sudah siap beranomali kami pastikan itu mampu lepas landas; kedua yang belum siap, namun sedang dalam proses, ini pasti kita akan terus mengawal proses menuju ke anomali tersebut; dan ketiga adalah kelompok ritel yang tidak mau beranomali dikarenakan mereka masih berada di dalam zona nyaman dan memilih untuk tidak berubah.
Dengan mendorong para pelaku usaha ritel untuk mengadopsi teknologi digital seperti kecerdasan buatan (AI) dan data raksasa (Big Data), kami pun menganjurkan perusahaan ritel untuk membuka toko online dan juga adanya dukungan dari pemerintah yang konkret, kami yakin di tahun depan kami mampu bersaing pada industri digital saat ini dan mampu bersaing di industri digital. Pada intinya perusahaan yang memiliki optimisme tinggi ialah yang akan maju di tahun depan, tapi bukan optimis yang sekedar jargon namun optimisme yang realistis, memiliki arah dan strategi yang jelas.
Leave a reply
